Pengharapan Yang Putus

19.1K 1.1K 138
                                    

Permohonan Meryl tidak begitu saja menggoyahkan pendirian Hazel. Rencana hidup telah dirancang Hazel dengan matang. Tidak ada seorangpun yang bisa mengubahnya.

                "Maaf, Mbak. Aku udah mutusin akan membawa Marvel ikut bersama aku." Hazel berhenti sampai di situ.

                Meryl, yang walaupun tidak setuju, tidak bisa melakukan upaya apapun untuk mencegah Hazel pergi.

                "Baik kalau memang itu udah jadi keputusan kamu. Mbak bisa bilang apa?" Meryl terdengar pasrah.

                Dalam hati, Hazel yakin Meryl kecewa. Hazel merasa sudah mengecewakan banyak orang. Tapi dia selalu berharap hal terbaik pada setiap keputusan yang diambilnya.

                Hazel mengusap lembut pipi gembul Marvel sebelum mengecupnya. "Mbak mau gendong Marvel?"

                Anggukan Meryl terlihat. Ketika Marvel berada dalam dekapannya, Meryl tidak berhenti memujinya. "Ganteng ya. Kulitnya putih bersih. Jagoan kecil kesayangan Bunda."

                Hazel merasakan ujung-ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman.

                Marvel. Jagoan kecil yang akan menemani hari-harinya kelak.

                                                                                                ***

                "Pak Marvin?"

                Marvin tengah berdiri di halaman rumah ketika suara Riska yang lincah menyapanya.

                "Hei, Riska." Marvin memutus lamunannya, dan melihat Riska sedang berjalan cepat memasuki pagar yang tadinya ditutup.

                "Saya kira bapak nggak mau ke sini lagi. Bapak darimana aja kok baru keliatan? Udah pindah rumah ya?" Riska bertanya penuh rasa penasaran.

                "Iya. Sekarang saya tinggal di apartemen di Kuningan,"

                "Bu Hazelnya mana, Pak?" tanya Riska lagi. "Saya lupa ngembaliin buku resep puding yang saya pinjam. Udah lama sih, Pak. Udah sekitar empat bulan lalu. Abis rumah ini kosong terus."

                Empat bulan lalu. Marvin sulit mengingat apa yang terjadi empat bulan lalu. Terlalu banyak masalah yang membuatnya sejenak lupa akan pergiliran waktu.

                "Ada kok. Nggak ikut ke sini," jawab Marvin singkat.

                "Udah lahiran kan, Pak? Saya pengen jenguk. Bu Hazelnya diajak aja ke sini."

                "Iya udah."

                "Cewek apa cowok, Pak?"

                "Cowok." Marvin menjawab dengan jawaban semakin singkat. Lehernya seketika tercekat, hingga dia merasakan jantungnya berdegup semakin cepat.

                Dia tidak pernah melihat seperti apa rupa anaknya. Karena ketika Hazel melahirkan, dia tidak ada di dekat Hazel untuk mendampinginya.

                Hazel tidak ingin menemuinya lagi dan memberikan ultimatum untuk tidak berusaha mendekati anaknya. Jadi yang bisa dilakukan Marvin saat itu hanya menunggu kabar bahwa anaknya sudah lahir. Hanya itu.

                "Namanya siapa, Pak? Mirip siapa?"

                Saya nggak tau, Ris. Saya nggak pernah bisa melihat anak saya. Bahkan sekedar memandangi fotonya. Saya sudah tidak punya hak lagi atas anak saya, termasuk melihatnya.

Hazel's Wedding Story (Second Impression) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang