Sebelumnya maaf banget kalo part ini seuprit. Aku blm terbiasa nulis yang banyak, efek banyak kerjaan :))
"Sesuai permintaan lo, gue udah hubungi Marvin. Dia sedang dalam perjalanan ke sini,"
"Makasih, Jeng," Riana menggumam. Dielusnya perut yang mulai membuncit seiring pertumbuhan janin di dalamnya. Setiap detik dia tidak pernah tidak memikirkan kandungannya. Beruntung tidak terjadi apa-apa karena posisi jatuhnya tidak sampai menindih perut.
Keadaan di dalam ruang perawatan hening dan sunyi. Dokter yang tadi memeriksanya pun sudah pamit sejak lima menit lalu. Kata dokter, perawat akan datang kembali untuk memastikan bahwa kondisinya sudah membaik.
"Lo udah nggak ngerasa takut lagi kan?" tanya Ajeng. Sewaktu kejadian Riana terpeleset di kamar mandi, dia sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Beruntung, dia cepat menemukan Riana yang saat itu sudah terduduk di dalam kamar mandi meringis menahan nyeri. Saat itu rasa iba menyergap batinnya. Dan dia langsung bertindak cepat membawa Riana ke rumahsakit.
"Sedikit, Jeng." Riana menatap sahabatnya yang selalu setia menemaninya dalam keadaan apapun. "Makasih ya?"
Ajeng mengangguk. Sudah tidak terhitung lagi ucapan terimakasih Riana kepadanya. "Lo makasih mulu dari tadi. Udah ah,"
"Gue nggak bisa bayangin kalau lo nggak ada,"
Ajeng tersenyum tipis. "Yang penting lo mesti lebih berhati-hati lagi."
Riana refleks menyebut nama Marvin. "Andai gue udah nikah sama Marvin. Pasti dia bakal jagain gue, Jeng."
Lagi-lagi hanya Marvin yang ada di pikiran Riana. Ajeng hanya bisa merutuk dalam hati. Bertanya-tanya, mengapa Riana tidak juga mencoba hidup tanpa Marvin. Dia tahu persis Marvin tidak lagi mencintai sahabatnya itu, tapi kenapa Riana tidak bisa menerima kenyataan? Membuka pandangan lebih luas bahwa Marvin sudah berbahagia dengan isterinya?
"Tapi tolong lo pikirin lagi soal gugatan lo ke Marvin."
"Hmm," Riana menggumam malas.
"Ri, lo nggak bisa maksain keadaan kan?"
Ajeng sudah lelah membujuk Riana untuk menyudahi saja perjuangannya mendapatkan persetujuan Marvin untuk menikahinya. Riana seperti menulikan telinganya dari nasihat-nasihatnya. Mengabaikan, bahkan berkeras supaya Ajeng mendukung upaya hukum hingga harus membayar jasa pengacara terkenal.
"Gue pasti bisa," Riana menegaskan. "Karena Marvin milik gue. Dan selamanya akan terus seperti itu,"
***
Tayangan berita tengah malam menjadi pilihan terakhir Hazel untuk membunuh waktu. Beberapa acara sudah dilihatnya, dicek satu-persatu. Sebelumnya, dia mencoba menonton film thriller di salah satu channel TV luar negeri. Ya, sekedar mencari alternatif hiburan selain talkshow tengah malam atau FTV dengan tema cerita monoton. Namun upaya coba-cobanya berakhir dengan rasa takut. Hazel mengakui dirinya sangat payah dengan selera tontonan. Mungkin karena sudah lama sekali dia tidak menjadikan nonton TV sebagai hobi seperti kebanyakan orang, karena jika ditanya, dia lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam dengan menggambar. Membuat sketsa. Mencoba-coba melukis. Sesuatu yang tidak melibatkan teknologi canggih di dalamnya.
Hazel menyandarkan punggungnya lebih rapat ke sandaran sofa. Disentuhnya bibirnya. Tersenyum mengingat jejak ciuman Marvin masih terasa di sana. Membuainya dalam keindahan. Dia malu mengakuinya. Namun ciuman Marvin benar-benar bersifat adiksi. Dia bisa merasakan bagaimana segenap jiwanya menerima Marvin. mengikis sedikit demi sedikit perasaan benci yang dulu pernah membakar dalam dirinya. Mungkin karena janin yang dikandungnya tidak sepaham jika dia membenci Marvin. Atau memang hati terdalamnya yang menginginkan Marvin.
Asalkan Marvin hanya mencintainya saja. Satu-satunya. Tidak ada perempuan lain, termasuk Riana.
Hampir tiga jam menunggu Marvin akhirnya memunculkan rasa kantuk yang luar biasa. Hazel merasakan mulutnya menguap berkali-kali. Tubuhnya merosot, mendambakan tempat yang lebih nyaman, namun karena tidak kuat menyeret tubuhnya ke tempat tidur, Hazel hanya merebahkan tubuh di atas sofa. Merapatkan selimut, menutup mata dengan bibir yang merekah oleh senyum.
***
"Cepat sembuh ya," Marvin merasakan berat untuk memulai komunikasi lagi dengan Riana. Tidak banyak yang bisa dikatakan. Sejam itu hanya dihabiskannya mendengarkan permohonan Riana untuk menikahinya.
"Marv, tunggu."
Ketika hendak beranjak dari kursi, Riana menahannya. Marvin menunduk ke arah jemari Riana yang bergelantungan lemah di pergelangan tangannya.
"Aku bersedia jadi isteri ke dua kamu, Marv."
Tatapan Riana masih memohon. Begitupun ucapan lirih dan lemah dari bibirnya yang pucat.
"Gue nggak bisa," Marvin kembali duduk. "Swear to God. Gue nggak bisa, Ri."
"Marv." Suara Riana terhenti. Tapi jemarinya semakin mencekal tangan Marvin. "Aku akan ngomongin soal ini ke isteri kamu. Dia pasti bisa menerima. Aku nggak pernah minta kamu memilih. Aku rela jadi yang ke dua. Aku rela kita nggak nikah resmi, Marv. Aku hanya butuh pengakuan,"
"Gue akan menanggung biaya hidup lo dan anak ini sampai kapanpun lo mau,"
"Aku nggak punya permintaan lain." Riana menegaskan. Saat genggaman tangannya terurai, Marvin menatapnya iba. Namun pendiriannya tidak berubah.
"Lanjutkan saja, Ri. Lanjutkan saja tuntutan lo, sampai salah satu di antara kita kalah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazel's Wedding Story (Second Impression) SUDAH DIBUKUKAN
RomanceKetika kenanganku tentangmu hanya rasa benci... Sekuel First Sight sekaligus buku ke dua Hazel's Wedding Story. Book 1 HWS (First Sight) sudah tersedia dalam bentuk cetak. Diterbitkan secara Self Publishing melalui Diandra Creative. Jangan sampai k...