One day, he will call me Dad

19.3K 1.3K 59
                                    

Marvin mengulurkan tangan. Tanpa harus berpikir keras dia sudah bisa menyimpulkan jika laki-laki yang dilihatnya malam itu, yang membuatnya kembali ke Jakarta tanpa bertemu Hazel karena sudah terlalu terbakar cemburu, adalah orang ini.

"Saya pernah datang di peresmian resor Bapak, mewakili Prima Architecture," Aldric menyebutkan nama kantor tempat Hazel pernah bekerja.

Oh, Prima Architecture juga. Mungkin Aldric juga sudah mengenal Hazel jauh sebelumnya.

Tidak ada lagi pertanyaan yang harus ditanyakan karena Marvin memang merasa tidak memiliki urusan apa-apa dengan Aldric. Dibiarkannya saja Aldric masuk ke dalam rumah, dan dia kembali memperhatikan Marvel. Aldric menyapa Marvel sebentar dan mengacak rambut Marvel seperti sudah akrab dengan anaknya.

"Oom. Nobilnya lusak," Marvel berlari menghampiri mobil-mobilan yang tidak bisa lagi berjalan karena terhalang dinding kolam ikan mini di taman.

"Bentar ya,"

Dengan sigap Marvin mengikuti ke mana Marvel berjongkok untuk memeriksa mainannya.

"Nggak rusak, El. Nih udah Oom balikin." Marvin menyuruh Marvel menggerakkan lagi tangannya di atas remote control. Ketika mobilnya kembali bergerak, Marvel tertawa.

"Makasih Oom."

Senang rasanya memandangi tawa di wajah anak yang dicintainya luar dalam, dengan sepenuh hati itu. Marvin langsung menyarangkan ciuman ke kedua pipi Marvel dengan gemas.

"Iih Oom cium-cium El," Marvel mengerutkan kening dan kembali sibuk dengan mainannya.

"Kan Oom gemas. Oom sayang sama El." Marvin tercetus untuk menanyakan kepada Marvel. "El sayang juga nggak sama Oom?"

"Iyaah," jawab Marvel tanpa ragu.

Marvin tidak menunggu lama untuk mengangkat Marvel dan menggendongnya, kemudian mencium pipinya sampai puas. Sampai Marvel merasa geli dan berteriak minta diturunkan.

***

Kedatangan Aldric membuat obrolan asyik antara Hazel dan Katrin terputus sejenak. Katrin, langsung menoleh Hazel masih lengkap dengan tatapan interogatif khasnya, walau sedikit lebih melunak dari yang dulu.

"Eh, Mas." Hazel berdiri sebentar, menunggu sampai Aldric masuk dan duduk di kursi.

Aldric memang sudah memberitahunya akan datang, tapi ternyata lebih cepat sejam dari yang diperkirakan.

Katrin tersenyum, menerima perkenalan singkat dari Aldric.

"Kamu ngobrol aja, Zel. Aku di luar aja, mau ikut main sama El."

"Di sini aja, Kat."

Tapi Katrin sudah memasang isyarat tidak akan mengganggu mereka. Dia berlalu sebelum Hazel sempat mencegahnya lagi.

"Perempuan yang tadi siapa?" Aldric beralih menoleh Katrin yang sudah sampai di halaman.

"Sepupunya Marvin."

Aldric mengangguk.

"Marvin Triatomo itu...mantan suami kamu kan?"

Hazel menggumam, penuh rasa tidak nyaman. "Iya, Mas."

***

Katrin sesekali melirik ke rumah.

"Eh, kayaknya ada something deh sama mereka." Katrin memasang tampang curiga.

"Memangnya kenapa?"

Marvin berusaha terlihat bereaksi sangat biasa, tapi Katrin selalu tahu bahwa dari dulu sampai sekarang Marvin masih mencintai Hazel. Sepupunya itu tidak perlu bersandiwara.

"Nggak sih." Katrin enggan memperpanjang lagi pembahasan tentang Aldric. Sebaliknya dia begitu bersemangat menggoda Marvel.

"Gantengnya keponakan Aunty," Katrin mencubit lembut ke dua pipi tembem Marvel, tidak lupa kecupan penuh sayang.

Marvel hanya bisa melongo karena berkali-kali menjadi sasaran gendong, peluk dan cium dari dua orang dewasa yang menemaninya bermain mobil-mobilan.

Marvin mengambil satu lagi mobil beserta remote controlnya yang tadi diletakkan kembali di dalam kardus mainan Marvel. Digerakkannya mobil berwarna merah hingga mendekati mobil hijau yang sejak tadi dikendalikan Marvel.

Ayah dan anak itu mulai berinteraksi adu balap.

Katrin bertepuk tangan, ikut tertawa menyaksikan Marvel sampai terduduk di lantai saking seriusnya bermain.

Mereka bertiga saling berteriak-teriak, lalu berakhir dengan tos-tosan.

***

"Bapak sama Bunda mau ketemu sama kamu. Ya, ngobrol-ngobrol gitu. Kalau kamu bersedia, saya jemput kamu sama Marvel besok sore. Gimana?"

Hazel seperti biasa, tidak langsung mengiyakan setiap ajakan Aldric. Perlu pemikiran lanjut sampai dia benar yakin menerima atau menolak.

Apalagi ajakan untuk bertemu dengan orangtua Aldric. Bagaimana memposisikan dirinya dalam keluarga Aldric, itu yang belum mampu dilakukannya.

"Atau kapan aja kalau kamu ada waktu." Aldric memberikan tawaran lain.

"Aku liat nanti ya, Mas. El suka agak ribet gitu di bawa kemana-mana." Hazel menjadikan Marvel sebagai alasan. Padahal dia yakin si kecil tidak akan rewel diajak berkendara. Marvel senang naik kendaraan.

Aldric tersenyum. Seperti biasa, tidak ada pernyataan memaksa atau kecewa setiap Hazel menolak ajakannya secara halus. Lebih baik menolak daripada mengiyakan namun hati belum siap. Langkahnya bersama Aldric bukan hal yang main-main.

***

Waktu yang semakin beranjak menuju petang memaksa aktivitas bermain hari itu diselesaikan. Tapi Marvin sangat puas. Nyaris dua jam waktunya begitu berkualitas bersama Marvel. Demi apapun, kebersamaan mereka sore itu tidak dapat dibayar dengan apapun juga.

Aldric sudah lebih dulu pamit beberapa menit lalu.

"Jangan lupa ya, Zel. Minggu depan udah fitting baju di butik disainerku."

"Aku usahain ya, Kat."

"Soal jemput menjemput, aku liat nanti apa Aaron atau Marvin yang jemput kamu."

Marvin langsung merespon. "Hazel mana mau dijemput sama gue?"

"Ya pasti maulah," Katrin tersenyum kepada Hazel. "Kan udah akur gini?"

Hazel hanya mengumbar seulas senyum yang begitu tipis.

Apa Katrin tidak tahu bahwa terlalu banyak hal yang tidak bisa mendekatkan mereka lagi? Boleh saja dia berkata bahwa dia tidak bisa selamanya memusuhi Marvin. Tapi buktinya? Masih terlalu banyak rasa sakit yang mesti ditanggungnya. Mereka adalah mantan suami dan isteri yang tidak akan pernah menjalin hubungan baik lagi satu sama lain.

Tapi Katrin tidak perlu tahu. Cukup dia dan Marvin sendiri yang menyimpannya.

***

Dalam perjalanan pulang, Katrin menanyakan mengapa Marvel tidak kunjung memanggil Marvin dengan sebutan ayah. Marvin hanya menjawab ringan.

Belum saatnya.

Waktunya belum tepat.

Suatu saat nanti, di keadaan yang lebih baik, Marvel akan memanggilnya ayah.

Dia yakin.

***

Hazel's Wedding Story (Second Impression) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang