Hari Sabtu yang dijanjikan untuk nge-date bertiga dengan pasangan Galih-Mira tiba. Aku memarkir mobil di depan The Jeann's, tepat pukul 14.00. Saat memasuki The Jeann's, ponselku bergetar. Aku berhenti sebentar dan menerima telepon yang ternyata dari Mira.
"Udah di kafe, Far?" tanyanya dari seberang, kelihatannya agak sedikit terburu-buru.
"Iya, nih. Ada apa?"
"Duh, sorry banget, Far. Kalau misal aku dan Mas Galih ke sana agak sorean jam empatan gitu, gimana? Ini si Kembar rewel minta pulang, jadi kami jemput mereka dari rumah eyangnya, ntar kami ajak sekalian ke kafe, kamu enggak keganggu, kan?"
Aku terkekeh-kekeh. "Santai aja. Malah seneng kalau Dona dan Doni ikutan. Aku juga mau nikmati waktu dulu di sini. So, take your time, Mir!"
Setelah bersyukur karena tak membuatku kecewa, Mira segera pamit untuk memutuskan sambungan telepon kami. Aku menjawab salamnya dan langsung kembali berjalan ke arah kasir, menemui Tari yang sudah menyambutku dengan senyum manisnya.
"Doppio satu, Tar." Aku lalu membalas senyumnya.
"Ada tambahan, Mbak?" tanya Tari.
Aku menggeleng. "Tempat biasa, ya."
Setelah Tari mengangguk dan aku membayar lunas pesanan, segera kulangkahkan kaki menuju tempat favorit. Ya, paling pojok, dekat jendela yang lurus dengan taman. Kuhempaskan tubuh ke sofa dengan nyaman, lalu mengambil karet di dalam saku kemeja dan menguncir rambut sebahu yang setiap dua bulan sekali kupendekkan ini.
"Mbak Fara?"
Aku segera mengalihkan pandangan ke asal suara. Dia tersenyum cerah, memakai jilbab biru muda, jaket dan celana jins hitam, serta kaus monokrom. Juga tengah mencangklong ransel yang sepertinya berisi laptop dan beberapa buku.
"Juwi?" Aku agak terkejut, karena bertemu adik sepupu dari jalur ayahku itu di sini.
"Rasanya udah kaya setahun enggak, sih, Mbak?" Juwita langsung duduk di sampingku tanpa mengucapkan permisi terlebih dulu.
"Kamu sama siapa?" tanyaku, tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
"Mau ketemu temen sekelas di sini, ngerjain tesis bareng." Juwita lalu melepas ransel dan jaketnya.
"Eh." Tiba-tiba Juwita menatapku dengan ekspresi sungkan. "Apa enggak masalah aku duduk di sini? Mbak Fara lagi nunggu temen, ya?"
"Oh, mereka masih jam 4 ntar, kok, datangnya. Aku, sih, enggak masalah. Justru kamu ini, lho ... apa temenmu enggak pa-pa ntar kalau ada aku di sini?" tanyaku.
Juwita menggeleng. "Dia kerja part time di sini, kok. Jam kerjanya cuma sampai waktu ashar nanti, jadi abis itu kami mau nongkrong sambil ngerjain tesis bareng. Kalau nanti dia enggak nyaman, ya kami bakal pindah ke situ. Hehe ...." Juwita lalu menunjuk kursi di sebelah dengan dagunya.
Aku bertanya lagi, "Kamu ambil S-2? Kok aku baru tahu."
Juwita tertawa pelan. "Nah, itulah makanya tadi aku bilang rasanya udah kaya setahun. Maaf juga jarang sambung komunikasi baik secara fisik maupun online, Mbak. Ya, aku menyadari Mbak Fara pasti sibuk, makanya aku juga sungkan kalau ganggu. Apalagi aku sering dimintai tolong Budhe buat ngurusin ini itunya Pakdhe."
Kami terdiam selama beberapa saat. Juwita dengan hati-hati bertanya, "Mbak Fara tahu, kan, kalau Pakdhe sering cuci darah sekarang? Beberapa kali Pakdhe nanyain Mbak Fara, tapi Bunda selalu kelihatan enggak senang dan malah jawab kalau enggak usah mikir Mbak dulu yang sibuk sampai enggak mau jenguk Pakdhe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Romance© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...