Rana Anjayna Prasenja punya satu sahabat cowok, namanya Shaka.
Shaka itu identik dengan sikap posesif dan suka seenaknya sendiri. Apa pun yang menjadi kemuannya wajib dituruti. Tak terkecuali kemauannya saat meminta Rana jadi pacar pura-puranya.
Kat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ada alasan penting yang membuat seorang Ryshaka Adnan Narendra bersemangat pergi ke sekolah. Pertama, karena dia akan mendapatkan uang saku untuk jajan––sudah pasti ini harus membuat Shaka semangat. Karena peraturan yang dibuat oleh Papanya adalah bolos sekolah tanpa alasan sama saja minta bolos diberi uang jajan. Kalau begitu kan enak si bendahara rumah––alias Mamanya––karena uang tersebut akan masuk jatah uang bulanan.
Lalu selain alasan di atas, ada satu alasan lagi yang membuat Shaka bersemangat sekolah. Apalagi kalau bukan Rana? Cewek berambut sebahu yang sudah hampir lima tahun ini menjadi sahabatnya itu adalah alasan spesifik mengapa seorang Shaka betah berada di kelas yang serasa neraka selama berjam-jam. Dia dan Rana itu ibarat upil dan hidung. Kemanapun Shaka pergi, Rana wajib mengikuti. Entah mengapa cowok itu merasa ada yang kurang ketika dirinya berjauhan dari Rana.
Shaka memetik senar gitarnya sembari mulutnya bersenandung menyanyikan sebuah lagu. Ruang band memang sudah sepi sejak sejam yang lalu setelah ekstra band selesai. Dan satu-satunya manusia yang masih betah bertahan di sana hanyalah Shaka. Apalagi alasannya kalau bukan karena sedang menunggu Rana kelar ekskul KIR.
Tiba-tiba pintu ruang band dibuka. Senyum Shaka lantas mengembang melihat sosok Rana.
"Gue kan udah bilang lo pulang duluan aja. Kenapa malah tetep ngeyel nungguin gue?" sembur Rana.
"Karena gue maunya pulang sama lo."
"Tapi jam kelar ekskul kita beda sejam, Shaka. Gue kasian sama lo kalo kelamaan nungguin gue."
Shaka berdecak. "Eh, lo lupa ya? Dulu, waktu kita janjian bakal pergi ke bazar kampus Abang gue, gue nungguin lo selama lima jam Ran, di halte bus. Dan ujung-ujungnya lo nggak dateng juga karena sakit."
Rana lantas mendengkus. Ini bukan pertama kalinya Shaka mengungkit-ungkin kejadian yang sudah berlalu dua tahun silam. Sebenarnya Rana sempat merasa bersalah. Ini dikarenakan dulu dia tidak punya kuota dan pulsa. Tapi, saking seringnya Shaka mengungkit kejadian ini membuat Rana yang awalnya merasa bersalah lama-lama kesal juga.
Baru saja Rana mendudukkan bokongnya kursi pojok, tapi Shaka tiba-tiba berdehem. "Duduk depan gue sini, Ran. Ada yang perlu gue omongin sama lo," perintahnya.
"Apa?"
"Duduk sini dulu!"
Rana akhirnya mengikuti kemauan Shaka.
"Gue mau ngomong sama lo. Dan gue harap lo bisa jawab jujur. Gue nggak mau ada kebohongan sama sekali." Shaka mendadak memasang wajah seriusnya. Rana jadi takut. Apalagi saat Shaka tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya padanya "Bisa jelasin?"
Rana menelan ludahnya. Sial! Otaknya yang biasanya selalu pandai merangkai kata mendadak nge-blank begitu ponsel Shaka menampilkan sosoknya bersama seorang cowok.
"Shak, ini--"
"Nggak seperti yang lo pikir," Shaka memotong ucapan Rana. "Gue tau Ran, tiap kali hal kayak ini terjadi, lo selalu ngeles gitu."