Edelweiss | Kepulangan Ayah

21 4 0
                                        

Selesai makan di kantin, waktu istirahat masih ada 5 menit. Rana langsung digeret oleh Wina, Karin, dan Yeri ke kamar mandi.

Sekarang, posisinya Rana tengah terpojok dan dikurung oleh ketiga manusia itu. Sebenarnya Rana juga sudah memprediksi ini akan terjadi mengingat ucapan Karin tadi. Jadi mau tidak mau Rana menceritakan tentang kebenarannya.

"Oh, jadi lo sama Shaka cuma pacaran pura-pura gitu?" tanya Wina.

"Iya. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya yang gue ceritain tadi. Ini rahasia kata Shaka." Rana memperingati.

"Pantesan! Kaget gue gila. Secara selama ini kan Shaka bucinnya Mika, tapi kenapa tiba-tiba dia ngaku lo pacarnya," ujar Yeri sembari mengelus dadanya.

"Lo cemburu, Yer?" tanya Karin. Yeri langsung melotot.

"Mulut lo! Ngapain gue cemburu sih?! Nggak jelas banget lo!"

"Ya kan siapa tau aja, soalnya pas dulu lo kan nggak sempet jadi pacarnya Shaka, tapi udah dapet kabar kalo Shaka suka Mika. Terus sekarang Rana juga jadi pacarnya Shaka, ya walau pura-pura. Kali aja lo iri."

Yeri menggeplak pelan bahu Karin. "Berapa kali gue bilang kalo gue udah nggak suka Shaka?!" Ia lalu meraih tangan Rana yang sedang menertawainya. "Ran, jangan dengerin omongan Karin ya. Gue beneran udah nggak suka Shaka. Lo percaya sama gue kan, Ran?"

"Iya. Iya."

"Bohong Ran, bohong. Kemarin gue lihat dia minjemin bolpen Shaka." Wina ikut memanasi.

"Apaan? Jangan dengerin, Ran. Itu Shaka maksa ya, bukan gue yang niat minjemin."

"Alah, ngaku aja lo seneng kan bolpennya dipinjem sama Shaka," sahut Karin.

"Kalian pikir gue bocil yang kalo barangnya dipinjem doi bakal senengnya minta ampun? Malahan gue gedek sampe sekarang bolpen gue nggak dibalik-balikin."

Karin, Rana, dan Wina lantas tertawa melihat kekesalan Yeri. Memang, Yeri itu selalu menjadi objek bully-an mereka tiap kali ada kesempatan.

Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Keempatnya lantas keluar dari kamar mandi.

Tiba-tiba saat sedang berjalan, bahu Rana ditubruk dari belakang. Hampir saja cewek itu hilang keseimbangan kalau Yeri tidak menangkap pergelangan tangan cewek itu.

"Woi, nggak punya mata lo?! Temen gue mau jatuh tau lo tabrak," teriak Wina.

Cewek yang menabrak Rana itu langsung menoleh ke belakang. Keempatnya sedikit terkejut saat mengetahui yang merabrak Rana tadi adalah Desi.

"Apa? Mau marah?" tanya Desi menantang. "Kalian nggak berhak marah. Itu balesan buat orang yang udah ambil cowok orang lain!" katanya lalu pergi.

"Woaaah! Dasar adkel nggak tau sopan santun! Awas aja kalo ketemu lagi. Gue balik posisi kepala lo jadi di bawah!" seru Yeri tidak terima.

"Tau tuh! Pantesan Shaka nggak mau pacarin lo. Kelakuan lo minus banget. Dasar gila!" Karin menambahi. "Lo nggak papa kan, Ran?" tanyanya pada Rana.

"Nggak. Kan belum sempet gue jatuh Yeri udah nyelametin," balas Rana santai, padahal dalam hati dia juga sama dengkolnya dengan mereka. Ingin sekali dia cakar muka ngeselin Desi tadi.

"Syukurlah. Yaudah yuk, lanjut balik ke kelas."

Mereka berempat langsung kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertunda.

***

Kalau ada api, sudah pastilah harus ada air. Kalau ada panas, sudah pastilah harus ada angin. Begitulah peribahasa yang selalu di terapkan dalam keluarga kecil Gilang dan Liana.

Edelweiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang