Gerimis turun membasahi Bumi Arema. Kulirik wajahku lewat kaca spion dalam. Syukurlah dandananku tidak terlalu berlebihan. Perasaanku campur aduk sampai sedikit bingung saat memoles wajah sebelum keluar rumah tadi. Bagaimana tidak? Dimas mengajakku bertemu sore ini dan aku tidak bisa menolaknya.
"Dasar lemah kamu, Far!" gerutuku pada diri sendiri.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Entah kenapa, mendadak aku grogi saat di layar muncul nama Dimas sebagai pemanggil. Ini pertama kalinya dia menelepon.
"Halo?" sapaku.
"Assalamualaikum. Mbak Fara sudah di The Jeann's? Saya di kursi pojok yang biasa Mbak Fara tempati. Mau pesan apa? Saya pesankan."
Aku menggigit bibir bawah. Setelah menjawab salamnya, aku bertanya, "Ini beneran mau kamu traktir?"
Dimas terkekeh-kekeh di seberang sambungan. "Apa saya keliatannya kaya mau nge-prank Mbak Fara?"
Tak sadar aku ikut tertawa. "Enggak, sih. Ya udah, kalau gitu aku mau matcha milk coffee hangat aja. Snack-nya terserah kamu."
"Siap! Masuk dulu aja, Mbak. Saya ke Tari sebentar."
Setelah memutus sambungan kami, aku segera mengambil payung dan keluar dari dalam mobil menuju The Jeann's. Suasana di dalam agak sepi. Mungkin karena weekend dan anak-anak S-1 sedang UTS, maka tak banyak pengunjung yang datang. Mengingat kebanyakan pelanggan kafe kopi ini adalah para mahasiswa.
Rupanya Dimas sudah berada di tempat favoritku. Aku tersenyum menyapa Tari, di mana perempuan muda itu membalas senyumku sambil mengangguk ramah. Dimas--dengan masih memakai kemeja kerja warna krem, celana jeans biru tua dan rambutnya yang sedikit berantakan--sedang fokus pada ponselnya.
"Maaf, Dim. Tadi masih ngurus sesuatu di rumah." Aku duduk dan meletakkan tas di sofa, berhadapan dengan Dimas. Lelaki itu agak kaget, baru menyadari kedatanganku, tetapi langsung tersenyum.
"Oh, iya enggak apa-apa, Mbak." Buru-buru Dimas meletakkan ponselnya di atas meja, kembali tersenyum padaku.
"Ada apa ini? Kok tumben mau traktir? Aku kaget banget lho waktu baca WA kamu pagi tadi," tanyaku santai, padahal dalam hati sudah deg-degan.
"Eh, enggak. Cuma lagi nganggur dan alhamdulillah baru dapat bonus dua mingguan buat pegawai part time, jadi ya gitu, deh." Dimas lalu menggaruk pipinya sambil tertawa malu-malu. Aku otomatis kembali ikut tertawa, dengan kikuk tentunya.
"Anu." Tiba-tiba Dimas bersuara lagi. "Saya minta maaf kalau kemarin ada salah. Sepertinya Mbak Fara ada sedikit masalah juga sama Juwi. Saya enggak pengen ikut campur, karena sepertinya masalah keluarga. Tapi, kalau ada yang kurang berkenan tentang saya, Mbak Fara bilang aja, ya? Seperti kata Mbak Fara waktu itu, saya juga pengen punya hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitar saya. Termasuk Mbak Fara, yang meskipun baru kenal, tapi rasanya udah seperti teman lama."
Dimas mengatakan hal itu dengan sangat lancar tanpa terlihat malu-malu seperti biasanya. Ekspresi wajahnya pun cukup serius. Hm, aku baru tahu kalau ternyata dia tipe orang yang blak-blakan juga.
Aku lalu menelan ludah sebelum menyahut, "Jadi, kamu ngajak aku ngopi hari ini, mendadak banget, itu karena ngerasa kalau tingkahku kemarin agak aneh, ya?"
"Eh," sahut Dimas dengan sedikit canggung, "apa saya salah, Mbak? Mungkin pikiran saya yang terlalu sensitif." Dia lalu tersenyum kikuk.
Jujur, aku kasihan pada Dimas. Pertama, karena dia pasti merasa tak enak dengan sikapku yang kekanak-kanakan kemarin. Kedua, bisa jadi dia memang tak ingin memiliki masalah denganku yang dia anggap sudah baik padanya. Di sini tetap aku yang salah, karena kemarin sudah bersikap seenaknya tanpa sebab yang jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Romance© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...