Dering gawai Ismi mengusik fokusnya terhadap lembaran-lembaran nota di hadapannya, diliriknya sesaat sebelum mengangkat benda hitam pipih dengan gantungan bunga Daisy kecil-kecil itu.
"Assalamualaikum ibu," sapanya pada seseorang di seberang sana.
"Wa'alaikum salam, Dek. Lagi sibuk ya?" balas lawan bicaranya.
"Nggak juga, Bu. Ada apa ya?" Ismi tanpa basa-basi menanyakan alasan dibalik panggilan Bu Neti.
Selalu ada sesuatu yang jadi pendorong ibu Neti meneleponnya, biasanya sesuatu yang mendesak karena ibu tak pernah mau menelepon hanya untuk sekadar menanyakan kabar. Takut mengganggu, katanya.
"Ibu lagi di jalan, Dek, mau ke Balam. Ibu bisa minta tolong pesankan ojol buat ke SMK BLK?"
Dahi Ismi mengerut mendengar kata-kata ibu bahwa ia sedang menuju Bandar Lampung, "BLK dekat tempat Ismi dagang, Bu. Kok Ibu ke BLK? Ada apa ya, Bu?"
"Si Farhan turnamen hari ini, Dek. Di BLK katanya. Alhamdulillah kalo dekat dengan tempat Ismi," tambah ibu kemudian.
"Bisa tolong dipesenin, kan, Dek, ojolnya? Yang mobil ya, soalnya ini sama Leni, sama Airin juga, masih di bus."
Ismi terkesiap, otaknya yang masih bersiweran memikirkan hal lain seakan ditarik fokusnya pada permintaan ibu, "Iya, Bu. Bisa insyaa Allah, nanti Ismi pesankan. Ibu kabarin aja kalo sudah di Balam ya."
Lawan bicaranya mengiyakan lalu menutup sambungan telepon setelah mengucap salam. Sudah dua minggu sejak terakhir ia bertemu ibu. Mengingat ibu membangkitkan rasa kangennya pada si kecil Airin.
Bawa apa ya, untuk Airin? Batinnya. Gadis kecil itu suka sekali ngemil.
Diliriknya penanda waktu pada gawainya, sekarang pukul sebelas kurang. Biasanya ia mulai tutup toko sekitar pukul dua belas. Seketika terpikir oleh Ismi untuk sekalian membawakan makan siang untuk ibu dan Farhan, jika pun Farhan mendapat jatah dari turnamen, tentu ibu dan yang lain perlu makan juga, kan?
"Mbak," seorang gadis remaja menyodorkan selembar nota pada Ismi tiba-tiba, "habisnya 247.500."
Ismi melirik nota yang diserahkan padanya, membaca nominal total pembelanjaan lalu menerima dan menghitung uang pemberian karyawannya.
"Pas ya, Mir," ujar Ismi sebelum memasukkan uang di genggamannya ke dalam laci.
"Mbak!" teriak seorang laki-laki dari pintu depan tokonya, Ismi segera mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, "ibunya belanja 64 ribu."
Tepat saat itu juga seorang perempuan paruh baya mendatanginya tergopoh-gopoh karena celah yang sempit untuk masuk, lalu menyerahkan dua lembar uang lima puluh ribuan.
"Enam puluh empat, Mbak," ulang si ibu kemudian. Ismi merogoh laci penyimpanan uangnya dan mengambil kembalian.
"Kembalinya, 36 ribu ya, Ibu. Terima kasih," ucapnya diiringi senyum ramah-salah satu nasihat Abahnya yang tak pernah ia lupakan, untuk terus melayani pembeli dengan ramah walaupun kadang menjengkelkan.
Si ibu membalas senyum Ismi kemudian berjalan meninggalkan tempatnya.
Masih ada sekitar satu jam sebelum toko mulai tutup, Ismi masih bingung memutuskan apa yang harus dibawa untuk bertemu ibu nanti.
Terlebih tentang makan siang, nasi ayam geprek kah? Atau nasi padang? Atau baiknya makanan khas yang di Metro tidak ada? Tapi apa? Ismi bingung sendiri.
"Mir," panggil Ismi pada remaja yang tadi memberinya uang--salah satu karyawannya, remaja itu segera mendekat.
"Iya, Mbak," jawabnya dengan mata melebar, mengumpulkan fokusnya hanya pada apa yang akan Ismi sampaikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Tante
RomanceFarhan cengo mendengar apa yang baru saja si Tante katakan. Benarkah ini? Dengannya yang belum genap delapan belas tahun? Sebelum lulus SMA? Sekarang? Sengebet itukah ingin menikah, tetapi malas mencari hingga harus memintanya? Lalu jika terjadi, b...