Sebelum panci di dapur berdenting, bahkan sebelum azan subuh berkumandang, Ismi sudah lebih dulu bangun. Tepat saat ia menutup pintu kamar Leni, matanya menangkap gerak sebuah siluet dalam gelap. Sempat mengucap istighfar sebelum akhirnya menahan malu saat tahu siapa sebenarnya pemilik siluet itu.
"Kaget, Te?" tanya sang pemilik siluet sambil mengibas sarung di tangannya.
Seutas senyum jahil terbit di wajah Farhan, meskipun Ismi tentu tidak dapat melihatnya.
Perempuan itu tidak mengatakan apa pun, dengan acuh ia meninggalkan Farhan yang masih sibuk melipat sarung dan merapikan sofa tempatnya tidur semalam.
Karena kamar Leni sudah penuh dengan Ismi, Leni dan Airin, maka ibu tidur di kamar Farhan seperti yang sudah-sudah, sehingga sofa ruang tamulah yang menjadi kapal tempat remaja itu melabuhkan mimpinya semalam.
Dalam hati, Ismi merutuki dirinya yang begitu mudahnya terkejut. Bukan hal yang biasa terjadi sebenarnya, ia hanya waspada. Siluet Farhan membuatnya terkejut setelah hal yang sama terjadi beberapa hari lalu, dengan pemilik yang berbeda.
Ia mempercepat langkahnya menuju sumur di belakang rumah. Segera Ismi kembali ber-istigfar, lalu mengambil wudhu, menenangkan dan meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Itu hanya siluet Farhan, bukan seseorang yang ia takutkan kehadirannya.
Sepanjang air itu mengalir membasahi anggota wudhunya, istigfar tak pernah putus dalam hatinya. Ada rasa tak tenang meskipun ia sangat ingin melupakan.
Setelah selesai, ia segera meminta pada Tuhannya untuk menjauhkan segala sesuatu yang tak ia senangi. Entah itu hewan, peristiwa, atau manusia dengan niat jahatnya.
Diantara do'a yang ia panjatkan dalam tahajjudnya, Ismi meminta agar Allah meluluhkan hati Farhan. Meniadakan apa pun alasan yang membuat pemuda itu ragu, juga apa pun yang membuat orangtuanya ragu. Jika memang remaja laki-laki itu adalah jdohnya. Jika bukan, maka hanya satu yang Ismi mintakan, agar semua perasaan dan kecenderungannya pada remaja itu hilang tak bersisa selamanya.
Leleran air matanya jatuh saat sekali lagi mendoakan orangtuanya, memikirkan Farhan membuatnya mengingat Abah dan Amaknya.
Bagaimanapun juga, kini tidak ada orangtua yang bisa mendampinginya, menasihatinya, dan menjadi tempatnya bertukar pikiran. Apa pun keputusan yang ia ambil, apa pun yang nantinya terjadi padanya, semua akan ia tanggung sendiri.
Lama Ismi khidmat tenggelam dalam doanya, hingga pergerakan Leni yang tertangkap ujung matanya mengakhiri doa tersebut. Perempuan itu merasa tak enak karena tertangkap oleh Ismi.
"Lanjutin aja, mi. Aku mau siap-siap sholat subuh juga," ucapnya sembari berlalu di balik pintu, tanpa menunggu jawaban Ismi.
Setelah azan subuh berkumandang, Ismi menjawab setiap kalimatnya, membaca doa sesudah azan kemudian sholat qobliyah subuh, dilanjut dengan sholat subuh dan dzikir pagi. Keluar dari kamar Leni, ternyata ibu sudah menyiapkan sarapan lengkap dengan teh manis. Sudah pukul 05.20.
Perempuan yang lebih tua dari Amaknya itu tersenyum , "Dek, sarapan dulu sini."
Ismi tak pernah punya saudara kandung, entah seorang adik atau bahkan kakak, dipanggil dengan sebutan "Dek" adalah hal yang selalu menghadirkan rasa senang di hatinya, terdengar akrab dan seakan memiliki ikatan yang kuat antara ia dan ibunya Leni. Sejak dulu selalu seperti itu.
"Ismi belum mandi, tapi, Bu." Ia menunjuk kamar mandi di samping dapur, mengisyaratkan bahwa ia akan mandi dulu.
"Sikat gigi aja dulu, keburu dingin tehnya. Sini, sini."
Ibu Neti—ibunya Leni—menepuk bangku di depan meja makan, berseberangan dengan Farhan yang sedang menyesap teh manisnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Tante
RomanceFarhan cengo mendengar apa yang baru saja si Tante katakan. Benarkah ini? Dengannya yang belum genap delapan belas tahun? Sebelum lulus SMA? Sekarang? Sengebet itukah ingin menikah, tetapi malas mencari hingga harus memintanya? Lalu jika terjadi, b...