Bab 4. Crush

58 2 2
                                    

Babak enam berakhir dengan kemenangan di tangan Farhan. Senyumnya mengembang tatkala menjabat tangan lawan mainnya yang bermuka masam, kecewa karena kalah dari Farhan, pastinya.

Remaja itu segera mencari sosok yang repot-repot izin dari tempat kerja hanya untuk melihat pertandingannya, setiap pertandingannya. Siapa lagi kalau bukan ibunya, juga kakak dan keponakan semata wayangnya yang hari ini juga ikut.

Tepat di ambang pintu, sosok yang menjadi tonggak semangatnya itu berdiri melambaikan tangan, tetapi tidak hanya bertiga seperti perkiraannya. Farhan menajamkan penglihatannya untuk memastikan seseorang yang berdiri berdampingan dengan ibunya, yang kemudian ia yakini sebagai Ismi.

Kakinya melangkah menuju pintu gedung serbaguna--tempatnya bertanding.

Satu hal yang bisa ia syukuri lagi adalah jarak yang terbentang antara meja tempatnya bertanding dan pintu tempat ibunya berdiri yang lumayan mengulur waktu baginya untuk berpikir harus bersikap seperti apa saat berhadapan dengan Ismi.

Kemudian, seakan kegelisahannya langsung dijawab oleh Allah, Ismi meninggalkan ibunya setelah wanita itu menyentuh lengannya. Entah apa yang ibu katakan pada perempuan itu, Farhan tentu tidak tahu dan tak ingin repot-repot menebaknya.

"Widih, yang maju babak tujuh. Hebat juga," ujar seorang remaja laki-laki yang tiba-tiba muncul dan merangkul bahunya, datang dengan sekelompok remaja laki-laki dengan jumlah tak lebih dari tiga.

"Wets, belum tau aja, lo. Ini belum apa-apa," ujarnya agak meninggi. Bukan bersikap sombong, Farhan hanya menanggapi candaan dengan candaan.

Bersamaan dengan itu pula, seorang gadis seumurannya menghampiri Farhan dengan malu-malu. Siapa lagi kalau bukan Rara, primadona ekskul catur di sekolah Farhan yang katanya sudah naksir dengannya sejak MOS.

"Ecieee, udah ada yang nyamperin. Poto geh, poto bareng," ledek kawan-kawan Farhan yang lain. Tiba-tiba saja tempat di mana Farhan berdiri menjadi riuh dengan siulan, Farhan bingung harus menanggapi bagaimana.

Ia melirik ibunya yang hanya tersenyum melihatnya salah tingkah, mungkin sedikit mengenang masa sekolahnya dulu, dan maklum dengan interaksi anaknya bersama teman-temannya itu.

Farhan didorong mendekati Rara, hampir-hampir ia terjungkal. 

"Astagfirullah, gila sih, lo ini," kesal Farhan pada si pendorong, tetapi kemudian ia tepis perasaan itu setelah melihat wajah merah padam Rara. Takut menyinggung perasaan gadis itu juga jika ia menolak, tetapi tetap memberi jarak diatara mereka.

Ia berpose mengikuti gadis itu, mengangkat dua jari tangan kanannya saat Rara mengangkat dua jari tangan kirinya.

"Ganti gaya geh, ganti gaya," seru seorang temannya yang lain mengompori. Farhan ingin melotot, tetapi pandangannya malah menangkap sosok Ismi yang sudah berdiri di samping ibunya dengan sebotol minuman.

"Udah lagi," protesnya mengakhiri sesi foto yang hanya sekali jepret itu, "Haus gue, mau minum dulu."

"Ciee salting, cieee. Nggak tahan lama-lama," teriak seorang lagi, sengaja keras-keras mengompori, tetapi Farhan hanya membuat gestur mengancam dengan ibu jarinya bergerak seakan menggores leher.

Segerombolan remaja itu Farhan tinggalkan untuk menghampiri ibunya yang sejak tadi hanya bisa mengawasi, melambai, tersenyum atau membuat gestur menyemangati putra semata wayangnya itu.

"Minum dulu, Dek. Habis kan, minum kamu?"

Ibunya menyerahkan sebotol minuman dingin yang ia terima dari Ismi, tetapi perempuan itu malah sama sekali tak menatap Farhan dan terkesan cuek.

"Jadi gimana? Kira-kira selesai jam berapa?" tanya ibunya saat Farhan baru saja mengucurkan sedikit minuman ke dalam mulutnya.

Ingin rasanya segera menjawab, tetapi jelly dalam minumannya menagih kunyahan, tak bisa langsung turun mengikuti cairan yang masuk kerongkongan.

Married with TanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang