Bab 5. Gosip dan Surat Edaran

57 1 0
                                    

Tak ada alasan untuk bersingut pada hari Senin, selain kenyataan bahwa ia mengingatkan pada realita setelah manusia terlena pada Minggu yang terasa maya. Nyatanya hari minggu memang sesingkat itu. Hanya satu per tujuh dari jumlah hari dalam sepekan.

Padahal Rosulullah sendiri mengatakan bahwa Senin adalah salah satu hari yang istimewa dengan keutamaannya, maka buruk bagi kita jika membenci hari Senin hanya karena alasan bahwa ia adalah permulaan dari hari-hari yang sibuk setelahnya dan akhir dari hari leha-leha sebelumnya.

"Lu kemana aja, lah? Baru muncul jam segini," sapa Edo yang terdengar seperti omelan, atau memang demikian saat melihat Farhan baru menampakkan batang hidungnya, tepat di sebelahnya, seraya meletakkan tasnya di kursi kemudian duduk.

"Motornya mogok."

Edo memutar badannya ke sebelah kiri yang semula menghadap papan tulis, bersandar pada dinding di belakangnya. Alis mata bak ulat bulu miliknya naik sebelah dengan kerutan tepat diantara keduanya. "Lagi? Mogok dimana?"

"Di rumah."

"Lah, lu ke sini naik apaan jadi?"

"Nebeng orang."

"Ebuset, lu ngapa, dah? Jawabannya udah kaya cewek ngambek, pendek-pendek, untung nggak 'iya-nggak' doang."

Tatapan Edo menelusup mata Farhan, mencoba mencari kebenaran dibalik sikap sahabatnya yang tiba-tiba dingin pagi ini. Dan yang diselidiki malah menatap balik dengan kesal. Mulutnya terbuka sedikit, ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung, bibirnya terkatup lagi. Percuma menjelaskannya pada Edo, yang ada malah bisa jadi adu mulut.

Udah kaya suami istri.

Dalam hati ia makin geram dengan diri sendiri yang sempat berpikir seperti itu.

Nggak lucu, Han.

"Udahlah, bentar lagi upacara." Ia mengangkat pantatnya dari kursi dan berjalan meninggalkan Edo sendiri, untuk waktu yang tak lama karena Edo bangkit setelahnya.

"Lu kenapa, Han?" Tanyanya tak tahan setelah berhasil mendaratkan tangan kirinya di pundak kanan Farhan. Ada yang tak beres.

Sobatnya itu tak menjawab, hanya diam sambil mengambil sepatunya di rak di depan kelas, lalu memakainya. Masih juga tak bersuara.

Tak ada yang bisa Edo lakukan jika Farhan hanya diam. Hanya ada dua kemungkinan, "Pertama, lu nggak bisa cerita masalah ini ke siapapun, atau kedua, lu nggak tau gimana cara nyampeinnya ke gue?" tuding Edo yang membuat Farhan menoleh, sekali lagi menatap teman masa kecilnya yang juga mulai memakai sepatu.

"Ketiga, mungkin lo bukan orang yang tepat buat denger cerita gue."

Hampir-hampir Farhan terjungkal setelah mendapatkan dorongan dari tangan kerempeng Edo, tubuhnya oleng.

"Gila, sih! Parah amat! Gitu ya, lu sama gue sekarang. Mentang-mentang dapet cewek," tuding Edo sekali lagi yang berhasil membuat Farhan sempat tersenyum sebelum kemudian terbelalak.

"Cewek apaan?"

"Nggak usah pura-pura bego, gue tau kok," sahut Edo sambil berjalan menuju lapangan upacara, bel baru saja berbunyi tepat saat mereka keluar dari kelas.

"Tau apaan, Dadang? Lu biasanya suka ngaco. Gue curiga nih."

"Lu ditembak Rara, kan, kemaren?" sekali lagi Edo membocorkan apa yang telah ia dengar setelah berdecak.

Mata Farhan semakin membulat, diputarnya bahu Edo yang berjalan di depannya agar menatapnya sekali lagi, "Lu tau dari mana?"

Sobatnya itu hanya menggedikkan bahunya dengan bangga, "Gue, kan, anggota Badan Intelijen Negara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Married with TanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang