10 | Long Black: Jarak

338 73 31
                                    

Ini hari keenam aku berada di sebuah hotel bintang 4 di Solo. Kutatap langit lewat jendela kaca di hall tempatku sekarang tengah mengikuti materi ketiga Diklat Penyusunan Standar Operasional Prosedur dan Proses se-Jawa Bali.

Melewati jadwal yang padat selama di Solo cukup membuatku sedikit tenang dari pikiran yang menyesakkan dada beberapa hari ini. Mulai dari kehadiran Haris yang begitu tiba-tiba dan dengan cara tak menyenangkan, kondisi Papa yang mendadak drop, pertengkaran dengan Tante Natasha yang membuat hubungan kami makin merenggang, perasaanku pada Dimas yang sepertinya tak terbalas, serta rasa bersalahku karena selama ini selalu memendam rasa kesal dan pikiran negatif pada Mama maupun Papa atas trauma masa lalu akibat perpisahan mereka.

Tiga hari lalu, Mama meneleponku dan memberi tahu kalau Papa sudah sadar. Mama juga cerita kalau Tante Natasha menyampaikan kejadian antara kami saat di RSSA. Pasti Tante Natasha juga menceritakan betapa tidak sopannya aku, atau semua kata-kata pedas yang kulontarkan, seolah memang si Fara ini adalah pemeran antagonis dalam cerita hubungan kami berdua.

Aku menghela napas sambil mengalihkan tatapan mata dari langit ke layar berisi materi yang tengah disampaikan oleh pemateri. Semalam, Kevin mengajakku video call dari Tokyo sana. Dia sudah bicara banyak dengan Tante Natasha, juga sempat video call dengan Mama, sebelum akhirnya berhasil menghubungiku karena memang jadwal harian yang padat membuatku hanya bisa membuka ponsel setelah lewat jam 20.00.

Kevin memberikan banyak penghiburan. Aku bersyukur pada Tuhan, dengan orang-orang dalam keluarga Papa yang demikian, masih ada adikku yang sikapnya sangat dewasa, serta selalu bisa menjadi penengah antara aku dan orang-orang tersebut. Dia pun juga dekat dengan mamaku.

Meski kami beda ibu, tak ada hak Tante Natasha melarang Kevin untuk dekat dan sering main ke rumahku, karena Papa selaku memberikan izinnya. Papa memang sangat berharap agar aku dan Kevin bisa selalu dekat, karena bagaimanapun kami memang saudara kandung.

"Kelak kalau Papa enggak ada, yang bakal jadi wali kamu nikah pastinya adalah Kevin. Karena dalam Islam yang sesuai jalur nasab sama kamu, ya, cuma Kevin. Papa enggak punya saudara laki-laki. Kevin juga butuh sosok kakak yang bisa bantu bimbing dia. Jadi, kalian baik-baiklah. Rukun selalu. Jangan ada pikiran kalian beda ibu, terus enggak bisa akur begitu."

Nasihat Papa itu, meski sudah hampir 20 tahun berlalu, tetap membekas kuat di ingatanku. Sampai sekarang, itulah yang selalu membuatku berusaha keras agar jangan sampai jauh atau bersitegang dengan Kevin. Setidaknya dengan hubungan baik kami itu, aku dan Kevin bisa membuat orang tua kami merasa tenang.

Sementara itu, pertemuanku dengan Haris tak kuceritakan pada siapa pun kecuali Mama, Mira dan Galih. Apalagi pada Papa. Lagi pula, hal itu tidaklah penting. Aku ingat saat masih dalam proses sidang cerai, di mana aku juga melaporkan Haris ke polisi dengan tuduhan tindakan KDRT, Papa mendatangi lelaki sialan itu, lalu langsung memukulnya. Aku baru tahu Papa bisa semarah itu.

Saat aku bertanya kenapa bisa terbawa emosi sampai seperti itu padahal biasanya terlihat cuek, Papa hanya menjawab bahwa aku tak akan paham bagaimana perasaan orang tua yang anak gadisnya diperlakukan tidak baik oleh orang lain.

Aku paham kenapa Mama tak setuju untuk aku melanjutkan perasaan ini pada Dimas. Pastinya kalau Papa tahu, dia juga akan lebih tak setuju lagi.
Meski akhirnya terus menyalahkanku karena tak menurut padanya sejak awal, Papa juga terlihat menyesal karena akhirnya merestui pernikahanku dengan Haris.

Mama sendiri memang sempat senang dan sering memuji Haris yang tampan dan mapan waktu masih menjadi suamiku dulu. Barulah saat memasuki tahun kelima, Mama akhirnya tahu bahwa rumah tanggaku sudah mulai hancur.

Mungkin memang aku harus menarik batas tegas hingga membuat jarak sementara waktu, agar bisa meraba lagi apa yang sebaiknya harus kulakukan ke depannya. Meneruskan keinginan untuk bisa dekat dengan Dimas karena aku menyukainya--tentu dengan segala risiko ke depan seperti yang sudah diingatkan Mama--atau ... lebih baik kulepas saja daripada harus mengalami sakit untuk kedua kalinya?

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang