Tiga

15.6K 4.2K 125
                                    

Malik dan Dimas adalah sahabat akrab. Mereka berdua berteman sejak di bangku SD. Keduanya punya kegemaran yang sama, berolahraga, serta menaruh minat yang besar pada dunia kesehatan. Sewaktu mereka kelas sembilan SMP, Malik berencana mengambil jurusan kedokteran. Tak disangka, Dimas juga menginginkan jurusan yang sama, sehingga ketika SMA, mereka memilih sekolah paling populer dan belajar dengan amat giat, agar mimpi mereka dapat dengan mudah dicapai.

Tidak seperti Dimas, Kezia dan Magnolia hanyalah murid SMP bernilai rata-rata. Kezia yang selalu dimanja, malah tidak selalu mendapatkan nilai yang memuaskan saat SD dan SMP. Magnolia, di lain pihak, meski kemampuannya hanyalah rata-rata anak SMP, dia bisa mengambil hati para guru dengan memenangkan berbagai lomba olahraga dan sesekali lomba seni. Tidak ada dari mereka yang tahu bahwa gadis remaja tersebut melakukannya semata-mata demi hadiah supaya dia dapat melanjutkan hidup selama beberapa bulan. Akan tetapi, di mata orang-orang, Magnolia adalah pelajar yang amat mudah disuruh-suruh dan tidak pernah mengeluh bila dia harus ikut pelatihan hingga senja tiba.

Dia senang melakukannya karena pihak sekolah sering menanggung makan siang untuknya dan sejak itu, dia semakin betah berada di sekolah. Sebagai tambahan, ketika Dimas dan Malik masih bersekolah di sekolah yang sama dengannya, dia punya kesempatan untuk melihat Malik yang sering melakukan kegiatan ekskul MIPA tanpa ketahuan orangnya secara langsung. Dia bahkan sering sekali membuat kesalahan dengan melempar bola basket, voli, yang lokasi lapangannya memang dekat dengan ruang Lab dan minta izin masuk mengambil bola demi melaksanakan niatnya.

"Bisa nangkap bola, nggak, sih?" Malik melempar bola voli yang nyelonong masuk kelas ketika dia sedang bersiap presentasi. Saat itu, Magnolia bahkan tidak sadar telah melewatkan satu pukulan dari temannya yang kelewat bersemangat. Tapi, daripada malu karena kena marah di depan semua orang, yang Magnolia lakukan hanyalah memamerkan senyum super lebar yang menampakkan kedua lesung pipi dalam miliknya yang tidak dimiliki oleh Kezia dan Dimas. Meski begitu, belum sepat Magnolia menjawab, Malik sudah terlebih dahulu meninggalkannya kembali ke dalam kelas.

Bocah tampan nan cerdas itu juga amat cerdik. Supaya Magnolia tidak lagi mengganggu, dia memutuskan untuk menutup pintu kelas. Dan bagi si gadis malang tersebut, sikap ketus Malik hanyalah sebuah angin lalu dan dia tahu, gebetan kesayangannya sedang emosi dan kelaparan. Hari sudah menjelang sore dan Malik biasanya telah disuguhi cemilan oleh sang ibu bila sedang berada di rumah. 

"Abaang, pulang ntar, kita ngebakso, yuk? Yaya yang traktir." seru Magnolia dengan penuh semangat. Dia bahkan menggunakan tangan kanannya seolah-olah benda tersebut adalah corong pengeras suara sementara tangan kirinya sibuk memegang bola. Sayang, boro-boro jawaban Malik yang dia dengar, melainkan tatapan tajam guru IPA yang saat itu sedang membimbing ekskul, terarah kepadanya.

"Ampun, Bu. Cuma main-main, kok." Magnolia mengambil langkah seribu dan berlari cepat ke lapangan voli tanpa menoleh lagi. 

Yang paling penting, hari ini Malik mau mengajaknya bicara karena biasanya, boro-boro membuka mulut. Menoleh kepadanya sekadar membalas ucapan salam seperti selamat pagi atau membalas pujian yang Magnolia lakukan saja, dia belum pernah melakukannya sama sekali, tidak peduli, hubungan Malik dan Dimas bahkan lebih lengket dari lem.

***

Sebuah lemparan kecil berhasil mengenai lengan kaos pendek berwarna biru tua yang Magnolia kenakan. Dia menoleh ke arah sang pelaku yang lantas pura-pura sibuk memberi arahan kepada seorang ibu yang hendak menaiki motornya. 

"Balas… balas." 

Tangan kurus berbalut kulit miliknya agak sedikit legam karena terlalu lama tersengat sinar matahari dan Magnolia mengamati penampilan pemuda berusia akhir belasan tahun tersebut dalam diam. Dia terlalu mengantuk. Ulangan matematika sialan tadi telah membuatnya bergadang. Padahal sebelumnya dia mana mau melakukannya. Akan tetapi, Dimas memaksanya untuk terus belajar sekalipun dia berpikir, hal tersebut tidak ada guna sama sekali. 

"Belajar, Dek. Jangan kalah sama Keke. Dia ngerjain materi ini nggak sampai sepuluh menit dan lo udah hampir dua jam cuma mentok sampai nomor sepuluh."

Pantas saja Kezia sukses, pikir Magnolia. Mama meminta bantuan khusus kepada Bude Laura agar Malik mau mengajarinya. Malik yang Magnolia hapal betul, jauh lebih pintar dan cerdas dari Dimas, mengajari Kezia yang dia tahu lebih bodoh dari dirinya sendiri dengan penuh sukarela. Amat jomplang bila dibandingkan dengan dirinya. Malik tidak pernah mau banyak bicara dam sebelum Magnolia buka suara, dia sudah keburu kabur. 

Bahkan, mama sengaja mengunci pintu rumah agar Magnolia tidak mengintip mereka. Tetapi, dari balik jendela ruang tamu, dia bisa melihat, mama yang selalu mengaku tidak punya uang, menyiapkan bolu cokelat kesukaannya kepada Malik dan pemuda tampan itu membalas kebaikan hati mama dengan seulas senyum yang membuat Magnolia berharap dia bisa berada di ruang tamu tersebut dan menjadi murid Malik daripada murid Dimas yang selalu memarahinya tiap dia gagal.

Usai membantu wanita yang tadi memarkirkan motor, Jajang, pemuda yang melempari Magnolia dengan bekas bungkus rokok mendekati gadis tersebut.

"Lo nggak balik? Udah sore. Pasar sudah sepi. Lap lo kagak laku?"

Jajang menunjuk ke arah tumpukan lap dapur yang berada dalam pelukan Magnolia. Sudah tinggal separuh sebenarnya. Tadi dia membawa lima lusin. Hal tersebut berarti dia sudah mengantongi uang sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Tapi, Magnolia memilih untuk menggeleng. 

"Lumayan, kok. Gue kan jualan dari jam sebelas." 

Beruntung sedang masa ulangan sehingga dia bisa pulang lebih cepat dan bisa berjualan lebih lama daripada biasanya. Walau sekarang, Dimas lebih sering mengomel karena dia seharusnya belajar bukannya berjualan. 

"Lo sudah kelas tiga, Dek. Saatnya belajar bukan jualan. Mau masuk SMANSA kayak gue, kan?"

Dia tahu, menjadi siswa SMA Negeri 1 Jakarta Raya bukanlah hal yang gampang, terutama untuk yang otaknya pas-pasan seperti dirinya. Dia juga tahu dengan jelas, biaya masuk sekolah tersebut tidaklah murah. Dengan dua anak yang mesti dibiayai untuk masuk sekolah baru di tahun ini, mama sudah pasti bakal mengoceh dan mengeluh seperti yang sudah-sudah. Padahal, Magnolia tidak pernah lagi mencicipi uang mama. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali diberi uang saku oleh ibu tirinya tersebut. 

"Balik, dah. Orang-orang udah pada mau tutup." Jajang menunjuk ke arah los. Masih ada beberapa tukang sayur yang berjualan. Magnolia kenal mereka semua. Ada Bang Beni, tukang cabai. Mpok Anis, tukang kubis, serta Mak Surti, tukang bawang merah dan kentang. Mereka sering ngobrol terutama kalau pembeli sedang sepi. Tidak jarang, makan siang bersama walau hanya makanan ala kadarnya yang terdiri dari nasi putih menggunung, kuah bakso dan bakwan goreng. 

***

(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan RumahmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang