Halo, Gaes. Terima kasih sudah mampir. di KK dan KBM Yaya Malik sudah bab 32. buat KBM hari ini maintenance. Silahkan mampir ke KK dulu kalo udah nggak tahan. Nanti malam semoga bisa up bab 33.
***
Ketika 15
Masa-masa setelah Ujian Nasional ternyata merupakan masa-masa yang amat disenangi oleh Magnolia Rayya Hassan. Alasannya karena dia tidak perlu datang ke sekolah. Pembelajaran untuk anak kelas sembilan telah selesai seiring dengan selesainya Ujian Sekolah. Kelas Magnolia juga telah selesai mengadakan Ujian Sekolah dan ujian praktik sehingga yang saat ini dilakukan oleh mereka adalah menunggu pengumuman kelulusan yang biasanya berlangsung di bulan berikutnya.
Magnolia juga semakin rajin bangun sebelum matahari muncul. Dia sudah mandi dan salat subuh sebelum mama sempat membuka pintu rumah. Setelahnya, dengan mengendarai sepeda, dia berangkat pagi-pagi sekali menuju pasar.
Setelah pulih dari sakitnya yang ternyata berlangsung amat cepat berkat senyuman dari Malik Galih Kencana, Magnolia berjualan dengan semangat meluap-luap. Tidak sampai satu minggu, dia sudah memberanikan diri bicara dengan Beni dan ingin diajari berjualan cabai. Beni yang saat itu memang sedang butuh bantuan seorang asisten, pada akhirnya memita Magnolia untuk menjaga lapak cabainya di los yang berbeda dengan los tempat Beni berjualan. Sambil disambi dengan berjualan lap yang kini tinggal dia letakkan di sebelah gunungan cabai, Magnolia merasa menyesal tidak melakukan hal ini sejak awal.
"Hah? Ikut? Otak lo beres?" balas Magnolia ketika pada hari Jumat malam, Dimas meminta untuk ikut berjualan dengannya. Magnolia yang tidak menyangka Dimas bisa senekat itu, kemudian menggeleng tanda dia tidak mengizinkan abangnya ikut melakukan rutinitas hariannya.
"Jualan itu capek. Gue mesti bangun pas kalian masih enak-enak mimpi terus mesti genjot sepeda ke pasar waktu hari masih gelap. Sampai di pasar, gue mesti nunggu kiriman barang dari Bang Beni terus gue bawa ke los tempat gue jualan. Itu juga belum kelar sampai di situ. Gue mesti buka karungnya, hamparin ke terpal, nyiapin kantong, timbangan. Belum lagi gue mesti teriak supaya pembeli mampir. Kadang kalau lagi ramai, gue nggak inget makan."
Baru mendengar cerita Magnolia saja Dimas sudah bisa membayangkan betapa berat beban yang ditanggung oleh adiknya. Hal itu juga makin menguatkan tekad Dimas untuk ikut menemani Magnolia berjualan.
"Mumpung tanggal merah. Nggak setiap saat gue libur Sabtu Minggu. Sekali-sekali pengen nemenin lo jualan."
Saat itu Magnolia baru kembali dari terminal usai berjualan kopi panas. Dimas yang sebelumnya sedang belajar di rumah Malik langsung meloncat dari kursi demi menyambut adik bungsunya tersebut.
"Nggak usah. Manfaatin Sabtu sama Minggu lo buat bantu Mama beresin rumah. Jualan itu capek. Kalau ada pekerjaan lain, gue nggak mau jualan. Tapi, karena gue butuh duit buat masuk SMANSA, gue mesti kerja lebih giat lagi."
Setelah beberapa hari, Magnolia akhirnya tertarik untuk mendaftar di SMA Negeri 1 Jakarta Raya lewat jalur prestasi dan Dimas yang mengumpulkan semua piagam penghargaan yang adiknya peroleh selama ini. Setelah itu, Dimas sendiri yang mendaftarkan Magnolia karena dia tahu mama tidak akan melakukannya dan Magnolia yang terlalu sibuk tidak akan sempat datang. Dia baru akan menyuruh adiknya datang bila pihak SMA Negeri 1 menyuruh calon peserta didik baru hadir.
"Nggak, Dek. gue malah kepingin banget ikut lo."
Magnolia menguap. Saat itu sudah pukul sepuluh lewat. Seluruh badannya letih dan dia tidak bersemangat meladeni Dimas.
"Lo belajar aja. Jadi dokter. Jangan jadi tukang lap kayak gue."
Magnolia memarkirkan sepeda dekat kamar lalu berjalan menuju kamar mandi di bagian belakang rumah. Penat dan letih yang kini terasa meremukkan tubuhnya bakal segera terganti saat dia mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang menyegarkan.
***
Ketika Magnolia membuka pintu kamar pukul lima di hari Sabtu pagi, matanya sudah menangkap wajah Dimas yang tersenyum amat lebar. Alis gadis berlesung pipi tersebut naik tinggi dan dia tampak tidak senang.
"Lo mau ngapain, kok, tiba-tiba nongol di depan kamar gue?"
"Ikut jualan, lah. Emang mau ngapain lagi?" Dimas menjawab. Dia sudah mandi dan memakai pakaian lengkap dengan jaket untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin subuh.
"Nggak usah. Ntar lo malah nyusahin gue." Magnolia menarik resleting jaket dan memakai topi bundar bermotif bunga miliknya sebelum mengunci pintu kamar dan mengambil sepedanya yang terparkir di lorong pinggir kamar.
"Sini, gue yang bawa." tanpa ragu Dimas meraih gagang sepeda yang masih berada dalam pegangan Magnolia dan membawanya hingga ke coran pekarangan mereka. Dimas lalu membuka pagar dan kembali lagi untuk menaiki sepeda, membuat Magnolia berkacak pinggang karena tidak senang melihat sikap abangnya.
"Lo ngapain, sih. Mumpung Sabtu istirahat sana. Bangun tidur bantuin Mama bersihin rumah. Lihat, tuh, gue nggak sempat nyiangin rumput, udah tinggi."
Magnolia menunjuk ke arah pekarangan mereka yang rumputnya memang sedang tinggi. Selama ini dia selalu menyempatkan diri menyiangi rumput-rumput tersebut dan memangkas bunga-bunga yang tumbuh melebihi pot saat mama masih bekerja. Tapi, sepanjang minggu ini dia sudah amat sibuk dan daripada menggerecokinya di pasar, Dimas lebih baik membersihkan rumah.
"Udah, ah. Bahas rumput terus. Lo tahu kalau rumput tetangga depan lebih hijau?"
Magnolia mengerenyitkan hidung mendengar ucapan abangnya yang tidak masuk akal tersebut.
"Tetangga mana?"
"Bude Laura." Dimas menjawab pendek. Dia sudah berhasil mengeluarkan sepeda dari dalam pekarangan dan memarkirkannya ke depan pagar baru kemudian menutup pintu. Setelahnya, dia menaiki bagian depan sepeda dan menyuruh Magnolia duduk di bangku belakang.
"Kalau Mama tahu, lo bakal dikuliti habis-habisan. Anak pertama yang seharusnya nurut sama ibu kandungnya, malah sibuk ngurusin gue. Lo nyia-nyiain surga, Mas."
Dimas hanya menyunggingkan senyum tipis kepada Magnolia yang kini memegang bahunya sebagai tumpuan saat dia duduk di jok belakang.
"Padahal, kalau dibolehin, gue mau mengabdikan seluruh hidup gue buat Mama. Tapi, Mama nggak pernah mau." Magnolia bicara dengan nada amat pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dimas.
"Suatu hari, Mama bakal tahu kalau lo sayang banget sama beliau. Sekarang yang lebih penting, ajarin gue jualan, oke?"
"Nggak oke."
Dimas tertawa dan tanpa minta persetujuan adiknya sama sekali, dia mulai mengayuh pedal, tidak peduli saat itu jalanan masih amat gelap dan sepi. Yang paling penting saat ini adalah dia akan mendampingi adiknya berjualan, merasakan berjuang bersama seorang gadis lima belas tahun dalam mencapai mimpinya dan Dimas akan mengenang saat-saat ini sebagai saat paling berarti ketika mereka dewasa nanti.
Sepuluh detik kemudian, pintu pagar rumah keluarga Hasjim terbuka dan sosok pemuda tampan berusia tujuh belas tahun memakai jaket hitam gelap dengan hoodie menutupi hingga kepala, perlahan keluar mendorong motornya yang masih mati. Setelah memastikan pagar tertutup dan putri bungsu tetangga mereka sudah keluar rumah, Malik Galih Kencana menyalakan motor dan mengendarainya dengan kecepatan paling rendah.
Untung saja, motor pemberian sang ayah hampir tidak memiliki suara yang berisik ketika dia melakukan rutinitas pagi yang mulai rajin dia lakukan sejak satu minggu terakhir. Karena jika tidak, gadis berlesung pipi super centil dan gemar menggodanya, bakal tahu bahwa setiap pagi, Maliklah yang mengawal perjalanannya menuju pasar dan baru kembali lagi ke rumah setelah dia yakin, Magnolia tiba ke tempat tersebut dengan aman tanpa lecet sama sekali.
***
Mulai deh, netizen gaduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Unpub Acak )Ketika Cinta Lewat Depan Rumahmu
Teen FictionSudah cetak. Versi lengkap di KBM app dan Karyakarsa eriskahelmi Ketika Cinta Lewat Depan Rumahmu - Eriska Helmi Sepeninggal ayah kandungnya, Magnolia mendapati kenyataan bila dia adalah anak selingkuhan sang ayah dengan wanita lain. wanita yang se...