6 | when i let him in (ii)

1.1K 150 9
                                    

Seperti yang diduga, para anggota menolak keras untuk mengganti lokasi panti.

"Bayangin kita mesti nulis ulang surat permohonan, proposal, sama minta ttd lagi? Gila aja! Asal kalian tahu gue nungguin Bu Badriah tiga jam-an cuma buat dapatin tanda tangan dia! Nungguin dosen PA gue nandatangi KRS aja gak segitunya!!" protes Serena saat Januar menyarankan supaya mereka mengganti lokasi panti.

"Ya terus gimana? Lo ada saran lain gak? Coba sini biar kita denger," balas Januar gusar. Terlampau lelah mengurus perkara ini.

Serena sontak terdiam menundukkan kepala sambil mengepal kedua tangan.

Karin menggaruk kepala gugup. Well, Januar jarang sekali marah tapi kalau laki-laki itu sudah emosi –persiapkan diri saja. Ia melirik Satya di sampingnya, mengirim kode kepada laki-laki itu buat bersuara supaya suasana tidak menjadi canggung tapi sepertinya Satya malah salah sangka.

"Karin mau ngomong?" tanya laki-laki itu polos.

Pupil Karin membelalak. Satya bego!!

"Iya kenapa Rin?" Januar berserta semua orang di ruangan itu memandanginya.

Karin mengerjap kagok. "Engg –" Ia memilin jari berusaha meredam kegugupan. "Lo udah coba ngomong sama ketua HIMA Psikologi Jan? Maksud gue buat diskusiin masalah ini."

Januar menopang dagunya menggunakan tangan kanan yang ia tumpu di atas lutut. Laki-laki itu merapatkan bibir.

"Menurut lo kalau gue diskusiin ini sama mereka –mereka bakal bersedia ganti tempat gak?"

Pertanyaan yang mudah: tentu saja tidak. Sebagaimana Karin dan teman-temannya yang berjuang mempertahankan lokasi panti, anak-anak Psikologi pun pasti tidak berbeda.

Karin menghela napas. Agaknya memang tidak ada jalan lain kecuali mengubah lokasi panti.

"Tapi gak ada salahnya dicoba gak sih?" celetuk Cantika si bendahara 1 HIMA.

Serena yang sedari tadi membisu membuka suara, "Gue setuju. Walau kemarin gue udah sempat protes tapi DIABAIIN dia –mungkin gak ada salahnya kita ajak diskusi lagi yang jauh lebih formal dan sopan."

Bibir Karin menahan tawa ketika Serena menekankan intonasinya pada kata 'diabaiin'.

"Iya bener, gimana Jan? Lo setuju kita ajak mereka diskusi?" Cantika menanyakan ulang.

Masih dengan tangan yang ditumpu di atas paha, Januar menggosok-gosok pangkal hidungnya tampak menimang-nimang. Lama ia berpikir sampai Karin menyibukkan diri sejenak dengan memeriksa kukunya yang ia kuteks kemarin.

"Boleh," ujar Januar memutuskan. "Gue sama Karin bakal coba datangi mereka."

Seketika Karin melongo. "Kok gue?!"

"Lo kan sekretaris gue?" Januar menjawab sambil mengernyitkan kening seolah pertanyaan Karin adalah pertanyaan yang tidak masuk akal.

"Iya tapi kan ada Satya!"

"Kan elo yang nawarin solusi ini ya kenapa gak sekalian lo pertanggung jawabkan?"  timpal Satya tak mau kalah.

Karin menatap cowok itu tajam. Satya sedang berusaha menumbalkannya. Dasar cowok sialan.

"Satya sama Serena udah capek keliling-keliling minta tanda-tangan ya udahlah sekali sekali kita yang gantian biar adil."

Enggak Januar, enggak begitu cara mainnya. Jenis keadilan macam apa itu coba? Toh Karin juga capek mengorbankan jari-jarinya memanas gara-gara mengetik proposal serta surat-surat penting lainnya –dan jangan lupakan Karin yang mesti mendatangi beberapa lembaga kemasyarakatan (oke yang Karin datangi cuma 1 tapi tetap saja).

wildest dream - heeseung x karinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang