A M R E T A

1 3 1
                                    

"Yang bernyawa belum tentu hidup."

***

Satu pekan sudah aku menempati rumah ini, rumah baru kami. Bibi Nesa sengaja membeli rumah ini untuk kita tinggali. Setelah kejadian tragis yang menimpa keluarga besar kami. Kini, hanya tersisa aku dan Bibi Nesa. Ya, wanita manis nan jangkung di sana, dia bibiku. Nesa Friska. Aku beruntung masih memilikinya, Ayah dan ibuku tewas dalam pembantaian malam itu, pun dengan kakakku, dia mendapat banyak luka tusukan dan meninggal tiga hari berikutnya. Sebaiknya, kembali kukenalkan kalian dengan rumah sederhana ini, karena jika menyangkut tragedi itu, gadis ini mungkin akan langsung menjelma bagai anak TK yang tak tahu jalan pulang dan kemudian merengek seperti anak hilang di jalanan.

Bibi Nesa bilang, rumah ini kosong sudah cukup lama, entah ke mana pemilik aslinya. Ia juga mengatakan jika dirinya mendapat harga murah dari pihak yang mengurus jual-beli rumah ini. Ya, begitulah ... kebanyakan orang tergiur dengan yang murah-murah. Aku salah satunya. Oh, ya! Namaku Amreta Vasma, lebih sering dipanggil Meta. Aku juga bingung kenapa begitu, padahal ada huruf R yang terselip di antara M dan E. Pernah suatu hari kutanyakan pada Brigitta—salah seorang temanku. Alih-alih mendapat jawaban memuaskan, ia malah menertawakanku karena bertanya hal yang seharusnya tak perlu ditanyakan. Sejak itu, aku enggan bertanya lagi.

***

"Meta, jangan sentuh itu!" ucap bibi Nesa memperingatkan ketika aku sedang mengelus sebuah patung di dekat jendela ruang tamu. Selalu saja seperti itu, jangan ini, jangan itu, semua barang tidak boleh kusentuh dan alasannya hanya ada dua. Pertama, aku memang memiliki tangan yang kelewat aktif, sehingga Bibi sangat memerhatikan itu. Entahlah, kadang kurasa tangan ini seperti bergerak sendiri, padahal aku tidak menginginkannya. Lalu yang kedua, setiap kali kucoba memberi perhatian pada barang-barang di rumah ini, pasti Bibi Nesa akan bilang, "Rumah ini sudah tidak muda lagi, begitupula dengan benda-bendanya, sudah rapuh. Jadi, jika tidak berkepentingan, jangan diusik."

Akhirnya, aku hanya bisa menuruti.

Seperti yang kubilang di awal, kami pindah ke sini sudah sekitar satu pekan. Bersyukurnya, aku cukup tertarik dengan tempat baru kami dan selama itu aku telah menjelajahi semua di rumah sederhana ini. Dari sekian banyak ruang dan benda-benda di dalamnya, aku sangat menyukai area halaman depan. Bibi Nesa memang pintar memilih, rumah ini terletak di lingkungan yang cukup asri. Ditambah lagi dengan pekarangan kecil yang tertanam pohon jambu air dan satu pohon yang tidak kuketahui pasti apa namanya. Yang jelas, rindangnya menambah kesan nyaman bagi setiap insan yang tinggal di sini.

"Hai," sapaku pada seorang anak laki-laki yang tengah mengorek tanah di bawah pohon jambu. Dari posturnya, aku tahu jika dia seumuran denganku. Ya, setidaknya itu menurutku.
"Amreta Vasma!" Belum sempat anak itu menjawab sapaanku, tiba-tiba Bibi Nesa memanggilku dari dalam rumah dan jangan lupakan ... oh, apa itu? Dia memanggil nama lengkapku, aku benci itu. Sungguh.

***

Ternyata benar. Kala kupenuhi panggilan itu, ia langsung menatap dengan mata yang seolah siap meluncur ke luar.

"Ke–kenapa, Bi?" tanyaku takut. Bibi Nesa menghela napas kasar. "Apa ini?"

Astaga! Dia malah balik bertanya. Ini yang tidak kusuka darinya, benar-benar membuat bingung harus menjawab apa.

"Jawab bibi, Meta." Bibi Nesa mencoba menenangkan diri. Bagus! Marah memang kurang baik bagi wanita yang sudah menyentuh usia.

"Itu ... seprei," jawabku. Jelas saja, yang dipegangnya memang benda itu. Bibiku kembali menghela napas. Apakah ia mengidap asma? Ah, sebaiknya kuurungkan pertanyaan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keluarga CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang