12 | Hari Tanpa Kopi, Hujan, dan Dirimu

368 74 35
                                    

Kulirik jam tangan dan menemukan jarumnya menunjuk angka 13.30. Waktu pulang kantor masih lama. Rasanya aku benar-benar sudah sangat lelah, kepalaku makin pusing dan tubuhku kian lemas. Sudah sejak kemarin siang aku merasakan ada yang aneh dengan kondisi fisikku ini. Padahal, ini biasa terjadi kalau mau bulanan. Masalahnya justru bulananku sudah selesai 3 hari lalu. Anehnya, akhir-akhir ini rasa kram saat haidku jauh lebih buruk dibandingkan dahulu.

Pagi tadi aku ke klinik kantor dan ternyata setelah cek, tekanan darahku kembali naik menjadi 135/90 mmHg. Beberapa hari ini memang aku memforsir tenaga untuk lembur laporan monev tata laksana dan pelayanan publik perangkat daerah dan dinas-dinas di lingkungan Kota Malang. Sebentar lagi akan ada monitoring, jadi kami di Bagian Organisasi Pemkot harus menyiapkan bahan dengan baik juga.

Syukurlah anak-anak buahku sangat kompak dan semuanya profesional. Meski memiliki masalah keluarga atau pribadi masing-masing, mereka hampir tidak pernah terlambat menyerahkan laporan padaku. Sehingga aku bisa terbantu dan tidak harus meminta perpanjangan waktu deadline pada Bu Raya.

Itulah mengapa rasanya sangat memalukan jika ternyata aku sendiri yang lemah, sementara anak-anak buahku tangguh semuanya. Benar, aku tak boleh loyo.

Setelah menghela napas panjang, aku menggeliat di atas kursi dan kembali fokus ke layar PC. Kutelusuri lagi laporan monev dengan saksama. Sampai kemudian aku tiba pada sebuah tulisan yang menurutku agak janggal. Dengan kening mengerut, kubaca sekali lagi tulisan tersebut.

"Fer, Ferdi. Ke sini bentar coba!" Aku langsung mendongak ke arah meja Ferdian dan menemukan lelaki itu segera menatapku, lalu mengangguk patuh. Dia kemudian berjalan menuju mejaku.

"Ada apa, Bu?" tanyanya bingung.

"Coba kamu liat ini, deh. Ini gimana maksudnya?" Aku menunjuk layar PC dengan telunjuk.

Ferdian membaca dalam hati tulisan tersebut, kemudian tiba-tiba wajahnya terlihat tercengang. Dengan setengah berbisik dia bertanya, "Siapa yang bikin?"

Aku melirik Nisa yang tengah sibuk dengan PC-nya sendiri. "Dia," jawabku pelan. "Monev kemarin emang agak kisruh, sih, di wilayaj monitoring dia."

Ferdian menegakkan lagi tubuhnya. "Kalau salah tulis, sih, enggak mungkin ya, Bu." Dia lalu mengelus dagu. "Kemungkinan Nisa enggak berani terang-terangan bilang sama kita. Sementara dia kebingungan menyampaikan karena emang ada sesuatu."

Aku menyipitkan mata saat menatap Ferdian. "Ancaman?" bisikku. Entah kenapa jantungku berdegup kencang, sehingga membuat sensasi mual mendadak datang secara tiba-tiba.

Ferdian menggeleng. Dia lalu membuat gerakan dengan ujung ibu jari dan telunjuk tangan kirinya, seolah tengah menghitung uang. Astaga! Rasanya belakang kepalaku seperti dipukul palu. Sambil memijat daerah antara dua mata aku berkata pada lelaki tersebut, "Bilang sama Nisa buat nemuin aku sebelum pulang kantor nanti."

Ferdian mengangguk dan segera kembali ke kursinya. Setelah lelaki itu kembali--diiringi tatapan ingin tahu bercampur heran dari beberapa anak buahku lainnya--aku segera menghela napas dan fokus lagi ke layar PC.

Bagaimana bisa ini terjadi? Selama bekerja di sini, aku tak pernah mengalami hal seperti ini. Anak buahku disuap? Ah, tidak. Aku tak boleh berpikir negatif dulu pada Nisa. Bisa jadi dia menolak suap itu, tetapi tak berani memberikan laporan sesungguhnya dan mengganti dengan laporan aneh ini karena sungkan.

Tunggu! Aku ingat bahwa orang bagian ketatalaksanaan dinas yang merupakan wilayah monev Nisa itu masih kerabat jauhnya, tidak ... Nisa cerita bahwa almarhum ayahnya dulu pernah bekerja di rumah makan ayah orang itu.

Aku menggigit bibir bawah. Apa mungkin Nisa dimintai tolong orang itu untuk tidak menyampaikan laporan yang sesungguhnya agar dia tak terkena masalah dengan kepala dinas atau orang Pemkot dan Nisa tak bisa menolak karena hubungan mereka yang seperti itu, ya?

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang