“Terima kasih telah menyelamatkanku, Vin. Aku tadi sedang tidak dalam kondisi pikiran yang rasional.” ucapku melepaskan genggamannya tangannya yang masih terus mengecek keadaanku.
“Kamu ada yang terluka?”
“Tidak ada, tenang saja. Auh…..” rintihku saat dirinya tanpa sengaja memegang pundakku yang terluka kemarin. Aku baru ingat kalau aku belum membeli obat untuk biru yang ada di pundakku. Beberapa hari ini aku sering bangun terlambat hingga tak terpikirkan olehku untuk singgah sebentar ke apotek untuk membeli obat.
“Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Kau terluka parah, Fio.” paniknya sambil menarikku untuk masuk ke mobil bersamanya.
Saat aku melihat wajah paniknya, sungguh itu membuatku tertawa. Aku sudah berusaha untuk beberapa kali berusaha untuk menahannya agar mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu tetapi dia sama sekali tidak mendengarkanku dan terus menarikku untuk menyamai langkahnya yang cepat. Tak sengaja aku tersandung dengan kakiku sendiri. Aku-pun berteriak cukup kencang dan berhasil menarik perhatiannya.
Dia yang melihatku terjatuh segera menghampiriku dan berkata, “Maaf, maaf, Vio. Aku terlalu panik tadi jadinya…..”
“Aku baik-baik saja, Vin. Tenanglah. Kita hanya perlu ke kantor sekarang. Aku tidak ingin terlambat.” potongku sambil beranjak berdiri menunjukkan padanya bahwa tidak terjadi apa-apa pada diriku.“Jangan bersikap bahwa kau baik baik saja, Fio! Apa kau tahu kau tadi baru saja mengalami sesuatu yang berbahaya! Kalau aku tidak ada disana, kamu bisa saja meninggal!” murkanya dengan raut wajah frustasi melihat sikapku yang masih tersenyum. “Lucu sekali saat dirinya panik.” pikirku.
“Aku tahu, Marvin. Tapi pada kenyataannya, kau ada dan menyelamatkanku. Aku baik-baik saja, aku hanya cedera karena kemarin jatuh dari tempat tidur. Itu saja. Ini bukan karena kecelakaan tadi.” bohongku berusaha untuk menenangkannya.
“Lagipula bila aku mati tidak ada juga yang peduli.” gumamku pada diriku sendiri.
“Apa kamu bilang?!” teriaknya yang langsung kubungkam menggunakan tanganku sambil berkata, “Jangan menciptakan keributan disini. Kau tidak malu dilihat banyak orang. Orang akan menganggap kita sebagai pasangan sedang berantem. Sudah cukup aku terlibat sebuah rumor, tidak perlu kau menambahnya.” dan kemudian masuk kedalam mobilnya dengan tidak tahu malu.“Kau pikir aku akan mengantarmu ke kantor?” tanyanya setelah dirinya masuk kedalam mobil.
“Tidak usah ngambek, Pak Dokter Marvin yang baik hati. Lagipula kau juga tidak ingin pasienmu ini mengalami kejadian tadi untuk kedua kalinya, bukan?” ledekku.
“Aku benar-benar tidak habis pikir dengan dirimu, Fio.” gerutunya yang membuatku tertawa sendiri.
Tidak berapa lama kemudian dirinya-pun berhenti didepan sebuah apotek dan langsung bergegas turun tanpa membiarkan bertanya apapun pada dirinya. Dirinya pun membawa sekantongan kecil keluar dari apotik itu yang lalu diberikan pada diriku saat dia sudah masuk kedalam mobil.
“Pakailah, jangan sampai cederamu semakin parah” tegasnya singkat yang kembali aku respon dengan senyuman karena melihat sikapnya yang sepertinya masih marah pada diriku.
Akupun berusaha untuk memakai salep yang dibelikannya pada bagian pundakku namun karena tanganku yang pendek aku tidak bisa mencapainya. Dirinya yang melihatku kesusahan akhirnya menawarkan diri dengan mengambil salep yang ada pada tanganku dan memintaku berbalik. Aku yang berusaha menolak namun dirinya yang tetap bersikukuh untuk membantuku.
“Aku tidak tahu siapa yang telah melukaimu sampai seperti ini, yang terpenting aku tahu ini bukan biru karena kamu jatuh dari tempat tidur.” bebernya saat mengoleskan salep pada pundakku yang lantas membuatku terdiam karena aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada Marvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Fall
RomanceFio yang notabenenya mahasiswa akuntansi semester akhir, mengharuskan dirinya untuk mengikuti program magang sebagai syarat kelulusan. Bermula masuk ke salah satu perusahaan ternama menggunakan jalur orang dalam, Fio harus merasakan namanya terjebak...