***
Pagi itu di kediaman rumah Rian, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan juga Rian sendiri sedang menyantap sarapan pagi mereka. Mengoles selai dengan roti dan susu hangat sebagai sarapan pagi mereka kali ini."Kamu pagi ini mau kemana, Rian?" tanya sang kepala keluarga memulai obrolan, membuat netra coklat Rian bergulir menatap pria yang jauh lebih tua darinya tersebut.
"Ngantor seperti biasa, yah," jelas Rian sembari melahap roti selai coklat kacangnya. "Emang kenapa?"
"Gak apa-apa, sih," balas Ayah sembari mengedikkan bahu. "Gak anter Tiffany ke sekolah?"
Satu pertanyaan yang lolos dari bibir ayahnya membuat Rian sempat bungkam. Bahkan gerakan wajahnya yang mengunyah roti pun terhenti sejenak.
"Gak, Yah. Dia tadi chat katanya bareng sama temannya," singkatnya sembari mengulas senyum. Rian sama sekali tidak peka akan pertanyaan ayahnya yang menyinggung soal Tiffany.
"Kamu gak apa-apa?"
Pertanyaan lain dari ayahnya membuat alis Rian berkedut heran.
"Kenapa ayah nanyanya kek gitu?" sungut Rian sama sekali tidak mengerti dengan maksud papanya. Memangnya apa yang salah dari dia tidak menjemput gadis yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya itu?
Sang kepala keluarga berdeham sebelum melanjutkan. "Maksud ayah tuh. Ketika kita sering melakukan sesuatu yang sudah menjadi rutinitas kita dan tiba-tiba tidak melakukan rutinitas itu, pasti akan timbul rasa kehilangan."
Rian tertawa tertahan ketika mendengar ucapan ayahnya, dia menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Ya ampun, Yah. Cuma kek gitu doang mah udah biasa. Rian gak merasa kehilangan, kok," sanggahnya masih dengan sisa tawa. "Gak selalu Tiffany apa-apa selalu sama aku. Dia juga punya kehidupannya sendiri yang gak semuanya harus tentang aku, Yah. Dan itu hal yang sangat wajar kok."
Tiba-tiba selera makannya hilang, Rian beranjak dari tempat duduknya kemudian pamit.
"Aku pergi dulu ya, ayah, ibu." Rian meraih jaketnya yang tersampir di kursi meja makan, menyambar kunci motornya kemudian pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang saling berpandangan ketika dirinya sudah berjalan memunggungi mereka.
Raut wajah pria matang itu berubah menjadi serius ketika sudah berbalik memunggungi orangtuanya. Tangannya terkepal kuat dan suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk entah kenapa.
Ada rasa gelisah yang tidak bisa ia ungkapkan. Sebenarnya dia kenapa?
**
Berjalan santai menuju motor beat kesayangan yang ia panggil 'Bleky', Rian menyalakan mesin motor kemudian mengambil helm yang tersampir di kaca spion kanan. Saat ia ingin memindahkan helm berwarna pink bergambar hello kitty yang ditaruh di kaca spion kiri, Rian seketika ingat dengan Tiffany. Helm itu adalah helm yang biasa gadis itu pakai selama naik motor bersamanya. Entah mengapa saat memandang helm itu dia jadi ingat pada suatu potongan kenangan bersamanya."Kak Rian, aku mau helm yang itu," rengek Tiffany menunjuk sebuah helm pink bergambar hello kitty yang berjejer rapi bersama helm lain di dalam etalase kaca.
Rian mengalihkan pandang ke arah helm yang ditunjuk gadis itu, kemudian tersenyum hangat.
"Oh, yang itu. Yaudah ambil aja," responsnya santai. Tiffany melompat kegirangan saat permintaannya dituruti. Waktu itu Tiffany masih kelas 1 SMP.
"Yeayy! Makasih, Kak," pekik gadis berseragam putih biru itu senang sembari memeluk tubuh kakaknya dari samping. Rian hanya menghela senyumnya saat melihat antusias gadis itu, kemudian menepuk pucuk kepala gadis itu. Terlihat menggemaskan sekali Tiffany saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My First Love (Sudah Diterbitkan✅)
Fiksi RemajaNino Rafael harus menelan pil pahit ketika gadis yang disukainya jatuh cinta pada orang lain. Berbagai cara Nino lakukan untuk menaklukan hati Tiffany Beatrix dan berusaha menyadarkan gadis itu dari cinta buta nya pada Muhammad Afriyan Dirgantara, p...