Juwita melongok ke dalam kamar melewati pintu yang terbuka dan mengode Ok padaku. Mungkin sebentar lagi Dimas akan menghubungiku sendiri. Tentu saja jantungku langsung berdebar kencang.
Beberapa detik kemudian ada panggilan masuk dari sebuah nomor telepon tak bernama dan mengajak video call. Itu nomor Dimas. Ada foto profil lelaki menghadap laut--itu dia. Kebetulan nomornya memang belum kusimpan di ponsel baru ini.
"Assalamualaikum," sapaku, lalu tersenyum.
Terlihat Dimas di seberang sedang duduk di taman sebuah rumah sederhana dengan cat putih, menjawab salamku, lalu balas tersenyum manis. Dia memakai t-shirt warna cokelat muda dan jaket hitam. Rambutnya lebih rapi dari biasanya.
"Mbak Fara masih di rumah sakit? Udah enakan belum?"
Aku mengangguk. "Alhamdulillah udah lumayan enakan. Nanti sore abis asar insya Allah bisa pulang. Kamu di mana sekarang, Dim?"
"Pagi tadi baru sampai di rumah Bulik, di Banyuwangi kota. Mbah Uti ngajak kemari."
Entah kenapa, rasa cemas itu hadir. Aku teringat bahwa buliknya Dimas adalah ibu tiri istrinya Haris yang sekarang. Namun, aku kemudian bersyukur karena Haris yang jelas-jelas ada di Malang, pasti tak ada di dekat Dimas saat ini.
"Mbak udah makan?" Pertanyaan Dimas mengagetkanku. Aku tersenyum, lalu mengangguk.
"Bulik pinter masak, Mbak. Pagi ini kami sarapan bareng, disuguhi banyak makanan enak. Om Lukman, suaminya Bulik itu kemarin pulang dari Bali. Bawa banyak ikan segar dan beberapa oleh-oleh. Salah satunya ini."
Dimas memamerkan satu pack kecil Kopi Kintamani. Mataku melebar. Memang kopi Nusantara kesukaanku selain Kopi Toraja adalah Kopi Kintamani.
"Aku udah siapin dua pack buat Mbak Fara, tapi diminum kalau Mbak udah sembuh aja, ya?"
Aku terkekeh-kekeh. "Masih lama juga, kan, kamu ke Malangnya? Insya Allah aku udah sembuh total, lah, pas kamu balik ke sini."
Dimas diam sejenak, lalu dengan ekspresi cerah dia menyahut, "Sebenernya aku sekalian mau kasih tahu Mbak Fara kalau lusa bakal balik ke Malang."
"Serius kamu?" Aku langsung berteriak karena terlalu antusias, membuat Dimas terkekeh-kekeh geli di seberang.
"Iya, dua rius malahan. Soalnya mau ngobrolin sesuatu."
"Apaan deh?" Aku mengangkat alis karena tertarik.
"Nah, nah ... Mbak Fara kepo, ya?" Dimas kembali tertawa usil, membuatku malu sendiri.
"Serius, nih! Kenapa kamu tiba-tiba balik cepet,Dim? Katanya masih pengen agak lama temani Mbah Uti di sana?"
Dimas mengangguk. Dia membenarkan duduknya, lalu menjawab, "Sebenernya kemarin lusa aku dapat E-mail dari Prof. Burhan. Beliau dosen pembimbing tesisku. Nawarin kalau-kalau aku minat ikut seleksi jadi dosen tetap non PNS di FH UB. Awalnya aku ragu, terus coba kuobrolin sama Mbah Uti. Dan aku enggak nyangka beliau malah dukung, Mbak. Cuman, Mbah Uti juga minta aku coba tanya pendapat Bulik sama Om. Makanya kami ke sini pagi-pagi tadi dan alhamdulillah mereka juga ndukung aku."
"Trus kalau kamu diterima ...." Mendadak suaraku menjadi bergetar karena terlalu antusias. "Apa kamu bakal tinggal di Malang selamanya?"
Dimas menatapku dalam diam, sejenak tak menjawab, lalu mengangguk sambil tersenyum lembut. "Bukannya Mbak Fara juga pengennya aku menetap di Malang aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Romance© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...