Dua Puluh Tiga

2.4K 324 8
                                    

Cekikikan Niken yang menghasilkan suara ngik-ngik itu membuat Naya ikut menyemburkan tawa. Di hadapan mereka Adel sedang mencoba sebuah topi pantai lebar dengan aksen bunga-bunga lebay. Gayanya semakin lengkap ketika dipadukan dengan kacamata hitam. Mereka bertiga memang sedang window shopping di salah satu toko aksesoris bernuansa Jepang, namun aslinya merupakan jaringan ritel dari Tiongkok.

"Cakep bener lo, Del. Mirip Awkarin!" seru Niken masih di sela-sela tawa. Beberapa pengunjung lain sampai melirik. Begitupun dengan mas-mas pramuniaga yang diam-diam mengulum senyum sambil geleng-geleng kepala.

"Cakepan gue keles!" Adel menaruh kembali kedua aksesoris tadi di tempatnya semula. Sejak awal ia bilang tidak ada niatan beli.

Masih dengan bibir yang tertarik akibat sisa tawa, Naya sebenarnya sedang menyembunyikan getir. Ia dan Adit juga pernah melakukan hal konyol seperti barusan saat mereka pacaran. Waktu itu Naya sampai terpingkal-pingkal melihat Adit mencoba sebuah topi beraksen pita besar dengan hiasan mutiara. Habis, gayanya jadi mirip dengan Syahrini.

Omong-omong, bagaimana kabar Adit sekarang? Di mana ia tinggal? Apakah ia dan Sanya sudah resmi menikah? Segala pertanyaan itu terus berseliweran di kepala Naya bahkan ketika memejamkan mata.

Menghindar memang selalu jadi hal yang paling mudah dilakukan siapa saja. Selama ini, Naya pun terus menutup diri dari segala informasi. Maksudnya tidak ingin sakit hati lagi. Padahal tanpa sadar, bisa saja ada sesuatu yang belum usai. Bukankah putusnya sebuah hubungan tidak bisa menjadi akhir kalau kita belum benar-benar tutup buku?

"Di sini ada set alat makan lucu gitu, kan? Gue mau beli ah." Beruntunglah suara cempreng Niken tersebut membuyarkan segala kenangan tadi.

"Gue mau liat tas ya," ujar Adel. Tubuhnya berbelok cepat ke lorong sebelah kiri.

"Gue mau liat tumbler, deh." Naya sendiri memilih lorong paling ujung. Mereka bertiga resmi berpencar.

Jajaran botol beraneka motif terlihat memenuhi rak yang menjulang tinggi. Ada yang edisi We Bare Bears, Iron Man, polosan, gliter-gliter, dan klub sepak bola. Sampai pada motif yang disebutkan terakhir, Naya pun tertegun lama. Diambilnya salah satu tumbler bermotif klub sepakbola MU. Lagi-lagi, ada serangan kehampaan setiap kali ia melihat segala hal yang berhubungan dengan Raditya Bagaspati. Rasanya ... sedih.

***

Adel dan Niken sebenarnya bukan penggemar nonton di bioskop. Adel lebih suka baca novel. Katanya membayangkan visual tokoh dan tiap adegan dalam imajinasi sendiri sangatlah seru. Sementara Niken sebenarnya suka nonton juga, tapi lebih ke aliran drakor dengan link haram. Cuma modal wifi kosan, tidak perlu merogoh kocek tambahan.

Namun sepulang kuliah tadi, kedua orang itu yang justru sengaja mengajak Naya nge-mall kemudian nonton. Walaupun tidak mengatakan langsung, Naya tahu kalau Adel dan Niken terus berusaha menghiburnya.

"Cemilan-cemilan aman, kan?" bisik Niken sambil mencolek tas Naya yang gembung. Kini mereka bertiga duduk berjejer di sofa tunggu dekat studio dua. Jadwal film yang akan ditonton masih sekitar lima belas menit lagi.

"Aman, dong."

"Dosa tau kita tuh sebenernya. Kan aturannya gak boleh bawa makanan." Adel tiba-tiba nyeletuk.

Niken mendelik kemudian mengibas-ngibaskan tangan. "Alah. Yang penting gak ngotorin, bekasnya dibawa lagi. Lagian bawa ginian doang mah masih ringan. Temen gue waktu SMA bawa lumpia basah sama cilor ke dalem."

"Ebuset. Gak sekalian bawa nasi liwet buat botram?" Naya terkikik.

Adel pun jadi ikut tertawa geli. "Kasian aja sama yang jual popcorn gue mah. Kan jadi gak ada yang beli."

RelationSweet? [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang