Warning! Violence.
---
Tiga hari berlalu semenjak New tahu bahwa dirinya tengah mengandung, sesekali lelaki itu akan menatap perut ratanya ketika mandi, mengusap pelan seolah memberikan tanda bahwa ia di sini. Entah, bahkan si manis tak begitu paham dengan apa yang dirasakannya, senang? Hm, mungkin? Terkejut? Ini yang pasti.
Takut? Ya. Sangat.
Memiliki buah hati bersama seseorang yang bahkan belum membuka diri sepenuhnya padamu agaknya menakutkan, jika dipikir-pikir, perlakuan Tawan memang baik padanya. Sikap lembut yang ditunjukkan, kasih sayang yang walau lelaki tersebut tak pernah melontarkan secara gamblang pun masih bisa dirasakan, serta bagaimana yang lebih tua memberikan kebebasan untuknya—mengingat dirinya hanyalah lelaki yang kebetulan dibeli dengan tujuan tak tentu, cukup membuat hati milik New tersentuh.
Namun, jika ditilik lebih dalam, mengingat-ingat kebersamaan dua tahun ke belakang, ia tak pernah tahu siapa Tawan sebenarnya. Apa pekerjaan yang dilakukan, tanggal ulang tahun—sebab teman-teman dekat lelaki itu selalu berkata jika Tawan tak merayakan hari lahirnya, di internet? Palsu.
Bagaimana masa kecil lelaki itu? Makanan kesukaan? Alergi?
Tawan benar menyembunyikan semua dari New, entah hanya ia atau sang pria tak menampilkan semua pada dunia yang dikenalnya.
Yang New tahu, ia kesepian. Malam pertama mereka dua tahun lalu, si manis tak akan berpikir jika keduanya akan tidur bersama, di pikirannya ia akan diberikan satu kamar sempit di loteng untuk setidaknya bisa mengistirahatkan tubuh dan New tak apa dengan itu. Namun, yang didapat adalah kamar besar serta ranjang king size dengan bonus pria tan di sebelahnya.
Entah, tetapi ranjang yang begitu empuk tersebut malah membuat New tak bisa menikmati tidurnya, tengah malam ia terbangun dan mendapat sang pria meringkuk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Layaknya bocah yang kehilangan arah dan tujuan, napas yang memberat serta tak beraturan, membuat New paham bahwa tidur Tawan tidaklah nyenyak. Malam itu pula, ada sesuatu yang membuatnya menarik tubuh yang lebih tua, meletakkan kepala lelaki itu di atas dada, dan mengusap punggung sang pria, lembut. Berharap jika dekapan yang diberikan bisa menenangkan lelapnya barang sedikit. Senandung pelan mulai dilantunkan ketika napas Tawan mulai teratur dan tubuh dalam dekapan yang tak lagi menegang.
Rutinitas mereka dua tahun ke belakang dan Tawan tidak pernah meminum obat tidur kembali setelahnya.
Suara pintu dibuka mengalihkan perhatian New, membuat si manis agak tersentak. Tubuh yang masih terbalutkan kemeja lengkap dan celana bahannya itu memicu pergerakan dari yang lebih muda. New membantu sang pria melepaskan dasi yang terpasang, membuka kancingnya satu per satu, meletakkan baju kotor tersebut di atas keranjang.
"Mas udah makan? Mau aku ambilin ke sini?"
Tawan menggeleng, "Aku udah makan tadi di kantor."
Ah, ini adalah hari pria itu datang ke gedung besar Alta. Tak setiap hari memang, hanya beberapa kali dalam seminggu jika Tawan benar tengah dibutuhkan sebab ia memang bukan insan penting di sana, itu yang setidaknya New dengar dari Gun.
"Tidur, Poom." Setelah menyebutkan dua kata tersebut, punggung besar itu menghilang di balik pintu kamar mandi, menyisakan New dengan helaan napas berat. Bahkan hingga tiga hari berlalu, ia masih belum bisa memutuskan untuk memberi tahu perihal kehamilannya pada Tawan atau tidak.
Sebab dalam hati, ia merasa bahwa hal yang tepat sebelum memberi tahu segala hal yang menimpa adalah paham dengan baik pria seperti apa yang telah menghamilinya. Ia tak ingin jika buah hatinya kelak akan menemukan takdir kejam seperti yang pernah ia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Orbis ✓
RomanceMengisahkan tentang dua insan dengan dunia yang bertolak belakang. "Namun, Mas, maaf, aku benar tak bisa di sini bersamamu. Dunia yang aku inginkan dengan semesta yang tengah kamu jalankan, bertolak belakang. Aku rasa, aku tak bisa." -Thitipoom. a T...