quattuor

647 62 9
                                    

Warning! Mentioning human trafficking.

---

Enam orang tersebut terduduk di ruang tengah, masing-masing wajah menampilkan raut yang berbeda di tiap insannya, tetapi yang terpampang dengan jelas adalah sebagian besarnya menunjukkan rasa frustrasi yang berlebih.

"Thipoom, marah, ya?" Gun bergumam pelan, bertanya entah pada siapa yang mungkin paham akan jawaban yang bisa diberikan.

Arm menghela napas, selain Tawan, ia termasuk salah satu yang berada di tempat kejadian. Lelaki itu agaknya paham dengan reaksi yang diberikan seorang New tadi. Bahkan sebelum ia memutuskan untuk mengabdi pada keluarga ini, Arm sempat melarikan diri akibat rasa takut yang muncul sebab melihat bagaimana bengisnya orang-orang di sini ketika telah berhubungan dengan pengkhianat gila. Menatap raut penuh rasa memohon, lirihan minta ampun, serta darah yang mengucur di mana-mana tentu membuat siapapun terkejut jika memang tak terbiasa dengan hal tersebut.

Jadi, sedikit banyak, ia paham apa yang tengah New rasakan.

Terlebih, masa lalu pria itu.

"Dia shock, Tawan udah jelasin semuanya tadi. Tentang pekerjaannya dan alasan tembakan yang dilepas. Tapi mungkin kalian paham, ini nggak bakal mudah untuk diterima." Arm mulai memberikan balasan, sesekali netranya melirik ke arah sang tuan yang masih menatap kosong pada lantai, seolah kehilangan harapan.

"They deserved it." Singto menggumam, pelan.

"Yes, they did." Off menganggukkan kepala, sejujurnya provide loans, rentenir, dan segala tetek bengek panggilannya, tak semenyeramkan itu. Benar tak menakutkan jika engkau memiliki niat dan keinginan untuk membayar, pun pokok yang dihitung tak main-main, Tawan bukanlah orang yang akan dengan sengaja menaikkan bunga tinggi-tinggi, memberatkan para debiturnya. Namun, beberapa dari mereka memang benar tak tahu diri hingga harus diberikan hukuman yang layak.

Pria dengan nama Jumpol Adulkittiporn itu telah mengabdi pada keluarga Vihokratana sejak ia dilahirkan, ayahnya merupakan kaki tangan ayah Tawan dan ia merupakan teman bermain lelaki itu bahkan sejak mereka belum mampu untuk melangkahkan kaki.

Ia tahu banyak persoalan keluarga ini, bukan hanya harta yang berlimpah, tetapi juga seluk beluk, anggota keluarga, bagaimana Vihokratana tetap dalam masa jayanya bahkan setelah puluhan tahun berlalu.

"Wan, apa plan lo setelah ini?" Off bertanya, kali ini netranya benar berfokus pada Tawan. Lelaki tan dengan helaan napas berat di setiap menitnya itu, membuat kekasih Gun di sana seolah bisa merasakan frustrasi yang mendalam seperti yang dilalui tuannya.

"Belum tau."

"What if he still wants to go? Do you mind letting him?"

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Krist memicu keheningan yang selanjutnya muncul, mereka di sana bukanlah lelaki tak memiliki hati, dua tahun kebersamaan dengan New di sini cukup membuat rasa nyaman timbul dalam diri masing-masing. Walau si manis tak ikut dalam pekerjaan mereka, tetapi tiap kali pulang ke rumah, lelaki itu kerap kali memberikan sambutan. Dihidangkan macam-macam, dijamu dengan camilan milik New, bahkan Tawan tak jarang pula mengajak mereka staycation di luar kota hanya demi lelaki berumur dua puluh dua tahun itu.

Hal yang tak pernah mereka lakukan seumur-umur mengabdi pada Vihokratana.

"Nanti Poom bosan, jika di sini terus."

Kira-kira begitulah alasan Tawan jika ditanyai.

Ketika lelaki itu pergi...

"Nggak, gue nggak akan biarin dia pergi."

The Orbis ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang