1

328 69 15
                                        

Sekarang aku ingat kenapa beberapa orang tak suka durian. Baunya menyengat, dan rasanya yang pekat di lidah kebanyakan orang. Pantas saja Bima tak pernah suka kalau tante Anggita membeli durian.

Hiruk pikuk pasar tradisional tempatku mencari kain ini ternyata juga menjual berbagai macam buah. Agak unik sebenarnya. Kupikir hanya akan bertemu gulungan kain disini, tapi bebauan mulai dari mangga, durian, melon, dan buah lainnya juga turut menyapa hidung.

"Mbak Mia, segini aja kainnya?"

Aku menoleh pada suara melengking dari satu kios. Eddie berdiri di sana mengangkat segulung katun twill di kedua tangannya. Oke, Eddie selalu menjadi favoritku untuk kuajak mencari kain, namun melihatnya tak bisa membedakan Khaki dan Beige jelas mengusikku.

Aku memutuskan untuk meninggalkan etalase buah yang memajang Durian beserta teman-temannya dan mendekati Eddie. Padahal, aku sudah mempercayainya untuk hal yang satu ini.

"Ed, tadi saya minta warna apa?" tanyaku sekadar memastikan. Mungkin saja, 'kan, aku yang salah bilang?

Eddie mengernyitkan kening di balik kacamata photocromic miliknya. Tidak mau berprasangka buruk, tapi kupikir Eddie sedikit tertarik dengan salah satu pegawai di Amara—toko kain langgananku. Dia hanya menggunakan kacamata itu saat datang kemari, karena jika itu karena cahaya, maka jelas kacamatanya tak berguna di kios redup ini.

Ia hanya ingin nampak keren.

"Khaki, Mbak."

Tuh, 'kan. Bukan aku yang salah.

"Yang kamu bawa ini Beige, bukan Khaki," ujarku, berusaha untuk tidak terdengar menyalahkan. "Coba tanya sama Rifna, jangan sama pegawainya."

Yang di akhir itu memang kusengaja. Maaf ya Ed.

Aku menghela nafas kecil, melihat Eddie salah tingkah dan memutar tubuhnya kembali ke dalam. Tidak sepenuhnya salah Eddie, nyatanya mencari kain sebenarnya adalah tugasku. Tapi karena satu dan lain hal, aku sedang ingin banyak menghirup udara segar dan bukannya wangi tekstil.

"Lamia! Kok gak masuk?"

Suara yang lembut namun penuh penekanan ini kuhafal sebagai milik Rifna. Ketika menoleh, aku melihat seorang perempuan cantik di balik sundress yang ternyata masih sangat cantik di tubuhnya. Sedikit info, Rifna adalah seorang Ibu tiga anak. Dia juga pemilik toko kain ini.

"Na," sapaku. "Ada Eddie kok yang urus. Gue pikir lo di dalam, lo baru nyampe ya?"

Rifna mengangguk. "Si Junior habis bikin ulah di sekolahnya, gue habis dari sana."

Baiklah, aku harus meminta maaf pada Eddie karena ternyata Rifna tak ada di dalam toko. Pantas saja ia kebingungan.

"Bikin ulah gimana? Bukannya lo bilang Junior yang paling adem ayem?" tanyaku.

Oh iya, aku dan Rifna berteman sejak kuliah beberapa tahun lalu. Jadi wajar saja kami seakrab ini membicarakan aktivitas kami.

Rifna mengernyitkan hidungnya. "Gara-gara Mas Agin tuh, dia janji mau datang ke pertemuan orang tua, tapi malah telat. Terus Junior ngambek gak mau masuk kelas."

Aku terkekeh. Lucu sekali setiap mendengar kisah rumah tangga Rifna dan anak-anaknya yang beraneka macam tingkahnya. Dia punya suami yang humoris, juga tampan setengah mampus. Entahlah siapa yang beruntung mendapatkan siapa, Rifna juga dijuluki dewi kecantikan sejak dulu.

"Oh ya, Bima apa kabar, Mi?"

Huh? Bima...?

Tanpa sadar aku mengeratkan pegangan pada tali tas. "Bima?"

Rifna mengangguk. "Kata Mas Agin, Bima lagi tour sama Band-nya ya?"

Aku menggigit pipi bagian dalam, kemudian mengangguk. "Iya. Lagi tour ke Jogja."

"Keren banget sih Bima. Anak-anak kantornya Mas Agin tuh pada suka putar lagu mereka lho. Pas mereka tahu kalau Bima dan Mas Agin satu tongkrongan, pada heboh mau nitip tanda tangan..."

Aku tak lagi mendengar lanjutan cerita Rifna tentang antusiasme penggemar Bima yang ternyata sudah merambat ke pegawai kantoran.

Bima yang kami bicarakan disini tentu adalah Bimasena. Lelaki bernama tepat 8 huruf itu adalah vokalis dari Band bernama Gauri yang bergenre Pop Rock. Nama Band yang bahkan dibentuknya karena terinspirasi dari namaku.

Aku menyaksikan sendiri bagaimana Band tersebut dibentuk, mulai dari kesulitan mencari personil, studio disita, mengirim demo musik ke sana sini dan ditolak, hingga akhirnya dikontrak oleh salah satu Label musik besar di Indonesia. Gauri yang menghabiskan masa remaja mereka sebagai penyanyi kafe dan busking di tiap kesempatan, kini tengah menggelar tour mereka hingga ke luar Pulau Jawa.

Band beranggotakan Bima sebagai Vocalist, Arsa sebagai Guitarist, Fana sebagai Bassist, dan Ren sebagai Drummer. Aku mengenal mereka semua, tepatnya, aku pernah menjadi manager mereka semasa kuliah dulu. Tapi karena suatu hal, aku memilih untuk berhenti dan mulai bekerja pada sebuah butik designer sesuai minat awalku.

Terus kenapa Rifna menanyakan penyanyi perkenal itu padaku?

Tentu itu karena aku dan Bima sudah bersahabat baik dengannya sejak kami duduk di bangku SMA. Sekitar 12 tahun lalu. Bima juga menjadi alasanku menerima tawaran manager Gauri dulunya.

"Eh, itu mereka!"

Aku tersentak dan buru-buru menoleh, mengikuti arah telunjuk Rifna pada televisi kios sebelah yang sedang menampilkan sebuah pertunjukan musik. Siang-siang begini?

Tapi Rifna betul. Televisi tipis di depan sana jelas sedang menampilkan sosok lelaki yang kerjanya merecokiku hampir setiap malam dengan keluh kesahnya. Tanpa sadar aku terpana, melihat sosok Bima di balik layar setelah tak bertemu dengannya hampir dua bulan terakhir.

Tentu aku tahu lagu apa yang sedang ia nyanyikan dengan penuh senyum itu. Sebuah lagu yang dulu ia ciptakan di balik jendela kamarku setelah mendapat kabar bahwa demo mereka yang ke-109 diterima oleh sebuah label musik ternama.

Sebuah kehormatan karena Bima jelas menyanyikan ini pertama kali untukku sebagai penonton pertamanya beberapa tahun silam. Karena tangan berbakat dan otak cemerlangnya, lagu tersebut masih sangat booming sampai saat ini.

Aku tersenyum sedih melihatnya di sana. Mengingat kembali apa yang sudah kami lewati bersama untuk sampai pada diri kami masing-masing hari ini. Dan untuk semua tahun-tahun yang kami lewati, tak ada hari yang kuhabiskan tanpa menyesali perasaan yang kusembunyikan padanya.

Aku Lamia Gauri, usia 27 tahun lewat 8 bulan, bekerja sebagai marketing researcher di Catwari. Punya 2 kucing peliharaan dan 2 tanaman kaktus yang kurawat seperti bocah sendiri. Jangan tanya apa hobbyku, satu-satunya hal yang kusuka hanya menonton film yang sama dengan yang kutonton seminggu sebelumnya.

Status hubungan saat ini : friendzone.

Dengan siapa? Tentu saja dengan si vokalis yang kubicarakan tadi.

Bimasena.

The Story of Myself | seulminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang