✤
Eksploitasi jam kerja sering terjadi di butik tempatku kerja. Walau sudah berkutat di sana selama 3 tahun, aku masih sering bertanya-tanya kenapa tidak ada anak pengusaha kaya raya atau konglomerat yang mendekatiku. Rasanya aku sudah lelah hidup sendiri.
Berbicara soal hidup sendiri, peak of achievement yang kumiliki adalah sebuah rumah tipe 45. Tentu saja ini bukan hasil semata-mata dari bekerja bagai kuda di bawah Nyonya Willie, designer di butik, tapi juga dari usaha toko roti yang kukelola setelah mengikuti seminar HIPMI 8 tahun lalu. Walau tidak sepopuler bakery di pusat perbelanjaan, omset yang kuhasilkan cukup stabil.
Menunggu 7 tahun untukku bisa membeli rumah di salah satu kompleks pinggir kota ini. Meski harus menempuh macet saat pulang kerja, setidaknya aku memiliki halaman luas yang kugunakan untuk bersantai di akhir pekan.
Oh ya, aku hidup sendiri. Tak ada saudara, dan tak ada orang tua. Lebih tepatnya sih, karena kami memang berbeda kota.
Pukul 9 malam selalu menjadi waktu yang tepat untuk menonton apapun blockbuster yang sedang tayang di HBO. Entah, ada sesuatu yang menyenangkan saat melihat gambar bergerak-gerak dalam warna yang kusukai, meski aku tak menyukai alur ceritanya.
Aku sudah siap dengan semangkuk Mie Ayam dan segelas teh manis saat bel rumah berbunyi. Tak biasanya ada yang bertamu semalam ini.
Sambil melangkah ragu ke pintu rumah, aku mencoba menenangkan jantungku. Jika tebakanku benar, maka orang yang memencet bel di luar ini adalah orang yang sangat tidak ingin kulihat saat ini.
"Miaaaa!"
PFT. Itu dia. Si lelaki paling menyebalkan yang membuatku melewati hari cukup tenang dua bulan terakhir sejak ia pergi tour. Bimasena.
"Miaaa! Ting Tong, Ting Tong!!"
Duh! Kalau begini tetanggaku bisa mengamuk lagi.
Dengan sebal aku mendekat ke pintu dan memutar kuncinya, mendapati sesosok lelaki dengan hoodie, kacamata, dan masker hampir menutupi seluruh kulit.
Aku memutar mata, "Berisik!"
Bima, lelaki itu membuka kacamatanya. Membuat jantungku berdegup tak keruan melihat dua manik monolid yang jika boleh jujur, begitu kurindukan juga.
Maniknya tersenyum padaku, "Galak amat sih, gak kangen apa lo sama gue?"
Aku memutuskan untuk meninggalkannya di depan pintu dan kembali melangkah masuk, mengetahui bahwa ia pasti akan mengekor di belakang dan juga mengunci pintu untukku. Berteman dengannya selama 12 tahun justru membuatku bingung mengapa ia menekan bel. Tapi aku malas bertanya.
Aku hanya ingin diam saja.
Aku menyesal tak menyalakan TV lebih awal sebelum ia tiba. Sekarang aku dapat mendengar langkah kakinya memenuhi gendang telingaku, dan itu mengganggu.
"Lo tuh ya, ditinggalin dua bulan bukannya meluk kek, sayang gue kek, atau apa kek, ini malah dikasih punggung doang," omelnya tepat di belakangku.
Aku menoleh, mendapatinya kini sedang duduk di tempatku akan menghabiskan mie ayam tadi. Kini aku juga bisa melihatnya melirik ke dalam satu-satunya mangkok di atas meja.
"Laper?" tanyaku.
Bima mendongak, ia membuka masker dan tudung hoodienya ketika manik kami bertemu. Kini aku dapat dengan jelas melihat wajahnya yang jauh lebih bersinar sejak dua bulan terakhir. Bisa kulihat juga bagaimana ia nampak berseri-seri meski kedua maniknya jelas mendapat lingkaran hitam samar. Ia pasti bekerja sangat keras selama tour.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Myself | seulmin
Teen FictionDari Lamia, untuk hatinya yang tak pernah memiliki kesempatan berbicara. Ⓒ February 2022