✤
"Mia." Bima memanggil pelan.
Lamia, gadis bersurai legam yang dikuncir satu itu menoleh malas dari tumpukan kertas di depannya. "Satu kali lagi lo manggil tapi malah gak ngomong apa-apa, gue geprek ya kepala lo."
Bima terkekeh kecil dan kemudian mengalihkan pandangannya dari kertas. "Sorry, sorry. Gue kan lagi ngerjain lirik."
"Terus ngapain manggil-manggil? Gue juga belum kelar nih ngerjain tugas gue. Mana tugas lo juga mau dikerjain."
"Ya 'kan udah sepakat kalau lo ngerjain kimia gue, gue traktir lo di bakso Pak Sugeng beres sekolah besok."
Lamia meletakkan pulpennya. Menatap lurus pada satu-satunya lawan bicara di kamar Bima yang cukup berantakan karena kertas berserakan, baik itu kertas catatan Lamia dan kertas coretan lirik Bima. "Setelah gue pikir-pikir, tugas kimia lo yang berlembar-lembar ini gak setara sama satu mangkok bakso doang, Bim."
"Jadi lo mau apa? Bakso dua mangkok? Atau yang laen? Sebut deh, sebut. "
"Pengen masakan Jepang nih gue. Sushi kek paling enggak."
Bima mengangguk-angguk dan menyodorkan dompetnya dari saku jeans. Lelaki yang tengkurap di atas single-bednya itu tersenyum. "Nih, beli aja sepuas lo."
Lamia memekik senang dan segera menarik dompet Bima, lalu senyumnya luntur saat mendapati dua lembar uang sepuluh ribuan saja di dalam sana. Dengan malas ia membanting kembali dompet lusuh itu ke atas karpet.
"Yee kere tapi merintahnya lancar bener!"
Monolid Bima melengkung dan ia bergeser sedikit dari posisinya. "Maklumin aja dong, gue kan habis bayar regist nampil di Perbangsa."
"Ngapain juga sih lo ikut nampil di sana? Emang siapa yang mau dengerin?"
"Yaelah, bukan masalah di mana dan siapa audiensnya Mi. Justru karena Gauri masih baru, jadi gue akan gunain semua kesempatan untuk ngenalin Band kita ini."
Sebersit rasa hangat mengalir di peredaran darah Lamia saat Bima menyebut 'Band kita'. Meski Lamia bahkan tidak bisa bermain alat musik apapun, tapi Bima tak pernah lupa mengikutsertakan dirinya bahkan saat diskusi tentang lagu mereka. Bima memperlakukannya seperti Lamia adalah personil kelima di Gauri.
Bima menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong di sebelahnya. "Sini buruan, ambilin gitarnya juga tuh dekat meja, gue mau ngasih denger lo lagu baru gue."
Seperti robot, Lamia bergerak dan meninggalkan tugas sekolahnya, lalu meraih sebuah gitar akustik dan diserahkan ke Bima. Meski jantungnya berdebar, Lamia turut mengisi sisi kosong di sebelah Bima dan membiarkan tubuhnya berbaring di sana. Menatap Bima yang kini juga memutar tubuh dengan gitar di atas perutnya.
"Perdana nih, Mi. Kalau lagu ini booming nanti, lo harus bangga karena elo adalah pendengar pertamanya."
Alunan petikan gitar mengisi ruang kosong yang menjadi saksi betapa banyak kupu-kupu berterbangan di perut Lamia. Gadis itu terkekeh kecil tatkala Bima salah memetik nada, lalu dengan cepat memperbaikinya sambil terkekeh juga.
Selalu Lamia yang pertama mendengarkan lagu-lagu Bima. Bahkan saat tak ada yang mendengar pun, hanya Lamia yang ada di sana.
"Gimana? Bagus gak?" tanya Bima ketika selesai memetik senar gitarnya. Ia menoleh sedikit, menemukan sisi wajah Lamia yang berbaring di sebelahnya.
Lamia hanya menatap langit-langit kamar. Namun senyum yang terukir di wajahnya sudah jelas memberi jawaban.
Bima turut mendongak, menatap langit-langit kamarnya juga dengan senyum merekah seakan ia bisa melihat ribuan penonton dan ia sedang berdiri di tengah panggung.
![](https://img.wattpad.com/cover/301455138-288-k652254.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Myself | seulmin
Fiksi RemajaDari Lamia, untuk hatinya yang tak pernah memiliki kesempatan berbicara. Ⓒ February 2022