7

246 39 36
                                        

Baca note di akhir ya! Btw, part ini cukup panjang. Hope you like it :)

Jalur pendakian menuju puncak Gunung Ijen seharusnya tidak sesulit pendakian Bima sebelum-sebelumnya, Bima bahkan sudah pernah menaklukkan Semeru dan Rinjani bersama organisasi Pecinta Alam sekolahnya. Bukan karena asap belerang yang sempat menerpa mereka kala usai beristirahat di Pondok Bunder, bukan juga karena Sefri dan Tano yang sedari tadi tidak henti-henti saling menyahut. Alasan Bima harus tetap waspada adalah karena ia membawa satu perempuan bersamanya. Perempuan yang bahkan belum pernah mendaki sebelumnya.

Jangankan mendaki, bangun pagi untuk jogging saja Lamia harus diseret. Lalu Bima dengan santainya mengajak gadis itu ikut dengannya mendaki Gunung Ijen sebagai bentuk perayaan dari diterimanya Lamia di Universitas yang ia daftari saat SBMPTN kemarin.

Sesekali Bima memastikan Lamia masih memiliki tenaga yang cukup dengan menanyakannya hal-hal random. Seperti,

"Mi, kancil tuh kakinya berapa?"

"Hah?"

"Dua kan, ya?"

"Empat, dodol."

Bukannya Bima sebodoh itu untuk tidak mengetahui jumlah kaki kancil, ia hanya ingin membuat Lamia tetap terjaga meski tubuh gadis itu seperti dapat diterbangkan oleh angin. Bentuk waspada Bima yang lainnya adalah memindahkan sebagian logistik Lamia ke carrier miliknya agar gadis itu tidak terlalu memikul banyak beban. Sungguh, Bima akan melakukan apa saja agar pendakian pertama Lamia menyenangkan seperti yang ia janjikan saat membujuk gadis itu ikut dengannya.

"Gajah tuh punya hidung gak sih?" celetuk Bonbon, teman kelas Bima dulunya.

"Lo gak pernah lihat gajah apa? Hidungnya segede gaban!" dengus Tano tidak habis pikir. Ia berjalan paling depan, lalu di belakangnya ada Sefri, Lamia, Bima, dan paling belakang adalah Bonbon. Mereka berlima merupakan alumni dari SMA yang sama. Sebagai catatan tambahan, keempat lelaki itu merupakan teman kelas, sedangkan Lamia menempati kelas yang berbeda.

"Eh itu namanya Belalai, bego! Bukan hidung."

"Yaelah si goblok. Lamia, gajah punya hidung gak?" Tano menoleh sekilas pada Lamia yang fokus pada pijakan.

Lamia mendongak. "Um, indera penciumannya gajah itu namanya probosis, atau yang kita kenal sebagai belalai. Jadi iya, gajah punya hidung."

"Denger noh Bon!"

Bonbon menyatukan alisnya tidak terima. "Lho, tapi kan--"

"Mau raguin Lamia, lo?" semprot Bima kemudian. Lelaki itu bahkan menoleh untuk menyipitkan matanya pada Bonbon.

Bonbon mengangkat tangannya pertanda ia tidak akan berargumen lagi. "Iye, iye. Punya hidung, punya."

Lamia terkekeh untuk perdebatan tidak bermutu yang dilontarkan oleh teman-teman Bima tersebut. Meski mereka satu angkatan, Lamia masih merasa sedikit kaku di sekitar mereka, yah walaupun sudah tidak sekaku saat baru mulai mendaki 2 jam yang lalu.

Lamia lanjut menggerakkan kakinya yang sudah sekeras ubi jalar melewati trek menanjak yang tentu menambah beban otot. Meski angin dingin terus berhembus, tak ayal keringatnya tetap mengalir dibalik parasut yang ia kenakan. Lamia memutuskan untuk tidak terlalu banya bercengkrama agar nafasnya tidak habis, tapi lama kelamaan tetap saja ia merasa oksigen di sekitarnya menipis.

"Masih kuat gak?" bisikan berkala Bima kembali terdengar di sisi kirinya.

Lamia menoleh sebentar, menemukan sahabatnya itu menatap cemas. Tentu saja ada sisi dalam hati Lamia yang berlonjak kegirangan karena sejak tadi dihujani raut cemas Bima, tapi rasa lelahnya jauh lebih besar sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Story of Myself | seulminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang