04. Sie Capek

312 26 0
                                    

"Gimana rasanya diperhatiin dan di sayang? Ia mau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana rasanya diperhatiin dan di sayang? Ia mau. Tapi, siapa yang akan kasih kedua itu?"

* * *

04. Sie Capek

Sie terus menjauh dari bangunan bercat abu-abu yang sangat sepi di depannya. Tentunya setelah punggung Zion tidak terlihat dari pandangannya.

Setiap kata yang ia ucapkan hanyalah sebuah kebohongan semata. Pada kenyataannya ia sudah berdiri tegak walau batinnya lelah di depan rumah sederhana bercat merah maroon.

Sie mendorong pagar pendek yang siapa pun orang pasti bisa dengan mudahnya hanya dengan melompatinya saja.

Sie hidup dalam kesederhanaan, tapi ia tidak pernah malu jika harus bersanding dengan segala kemewahan yang di miliki oleh teman-teman di sekolahnya.

Apakah jawabannya tadi kepada Zion hanya sebatas keadaan?―bahwasanya fakta sebenarnya ia tinggal di rumah seperti ini? Berbanding balik dengan Zion yang mungkin keluarganya terpandang? Sie sendiri tidak pernah tahu bagaimana rupa kehidupan Zion, yang bahkan cowok jangkung itu sendiri tidak pernah bermain dengan kekuasan orang tuanya, kecuali Alestar sendiri, geng yang Zion buat sendiri.

Jawabannya, Sie tidak pernah malu sama sekali dengan keadaannya yang sederhana. Tetapi, Sie belum siap jika sosok Zion mengetahui keadaan keluarganya.

Sie peka dengan apa yang ada di pikiran Zion, sewaktu-waktu pasti Zion akan meminta izin kepadanya untuk bertemu dengan keluarganya.

Tapi mengapa ia harus mengiyakan ajakan pulang bareng dari Zion? Sie hanya terlalu lelah dalam lingkaran kebohongan yang ia buat. Biar waktu yang menjawab, namun Sie tidak akan pernah memastikan kapan Zion mengetahui ini dengan cepat.

Sie menarik napasnya berkali-kali, menyiapkan diri sebelum pintu bercat cokelat itu ia buka.

Saat pintu tertutup, namun sebuah suara yang tidak ingin Sie dengar akan tetapi yang menyapanya untuk pertama kalinya.

"Kamu tidak bekerja?"

Sie menggeleng singkat, seseorang yang bersembunyi di balik tembok terus memperhatikan raut wajah Sie yang lelah, namun wajah dingin Sie tidak pernah hilang setelah memasuki rumah sederhana ini.

"Sie capek, Bunda."

***

Rumah sederhana ini dulu membuat Sie sangat nyaman, menghabiskan waktu bermain dan waktu liburnya di dalamnya. Tapi itu dulu, sebelum Ayahnya meninggal. Saat berita kematian Ayahnya meninggal saat sebuah pengumuman melalui speaker di sekolah dasarnya menyebut namanya, semuanya mulai berubah. 6 tahun lamanya sudah Sie lalui dengan rasa sakit. Bukan luka fisik, tapi luka batin.

Sie sangat membenci ini semua, seandainya Ayahnya tidak meninggal karena penyakit sialan itu, seandainya ia masih bisa merengek meminta dibelikan es krim cokelat kepada Ayahnya saat waktu sekolah dasar, seandainya ia masih bisa bermanja di saat ia sudah duduk di bangku SMA ini, seandainya kalimat menyakitkan itu tidak terucap oleh kedua sosok yang seharusnya menjadi pelindung juga satu-satunya sosok yang ada di dalam hidupnya, dan masih banyak kata seandainya.

Zion Sie [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang