08. Bersama Kenangan

176 25 0
                                    

"Kenangan, kenangan, dan kenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenangan, kenangan, dan kenangan. Kenapa memori ini tidak dapat dilupakan? Kenapa malah menciptakan tangis? Dan kenapa malah menyayat tawa?"

* * *

08. Bersama Kenangan

"Kamu bilang apa kepada Idan?"

Sie memang tidak tahu menahu bagaimana Bundanya bisa mengenal Idan―Papah dari Aiden dan Khanza―yang kini status ketiga orang itu pun sudah berubah menjadi sosok Papah dan kedua Kakak tiri untuk Sie.

"Sie nggak bilang apa-apa," balas Sie datar.

Tas yang berisikan pakaian yang sudah Alifa masukkan beberapa itu ia lempar hingga jatuh tepat di depan Sie yang duduk di lantai. Sie memandang datar tas merah yang berisikan pakaiannya, pandangannya kembali kosong sembari memeluk kedua kakinya.

"Jika kamu tidak bilang apa-apa, kenapa Idan sangat keukeuh pengen ajak kamu pindah ke rumah dia juga?! Bukannya kamu sudah bilang kepada Rio jika kamu tidak akan ikut pindah dan mau di sini saja?!"

Merasa tidak mendapat balasan lagi dari Sie yang kini hanya diam sembari memeluk kedua kakinya. Alifa menarik paksa tangan Sie dan mengambil lagi tas merah yang sempat ia lemparkan.

Sie tetap diam saat Alifa masih menarik tangannya sembari melewati beberapa ruangan di dekat kamarnya. Sie hanya menciptakan atmosfer yang begitu dingin.

Hingga ia memutar sebelah tangannya agar terlepas dari genggaman sang Bunda, dan saat itu mereka berdua sudah tepat sampai di depan ruang keluarga. Keempat sosok yang duduk di sofa sana; Idan, Rio, Aiden, dan Khanza menatap Sie dan Alifa dengan pandangan mereka yang berbeda-beda.

Sie membalas satu persatu tatapan dari keempat sosok di depannya. Idan yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, Kak Rio yang menatapnya antara ingin menghentikkan Bunda atau tidak, Aiden yang menatapnya dingin, dan terakhir, Khanza yang menatapnya sangat tidak suka.

Sie hanya bisa menampilkan senyum tipis, jika di lihat lebih jelas, senyum tipis itu hanya senyum penuh miris.

"Mereka udah nunggu," ujar Sie tanpa menatap Alifa ia berusaha meraih tas merah yang berisikan pakaiannya.

Alifa memberikan tas itu dan Sie menerimanya dengan senang hati. Sie tidak akan ikut dengan mereka. Sie tidak akan meninggalkan rumah ini begitu saja, rumah yang begitu banyak kenangan yang tercipta bersama Ayahnya.

"Udah merasa hebat lo heh? Udah enak di ajak tinggal bareng di rumah gede, malah sok-sok-an nolak! Cih!" Decih Khanza memandang punggung Sie yang ingin menjauh dari ruang keluarga itu.

Zion Sie [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang