19 | Tanpa Kopi: Selamat Tinggal Cinta Pertama

319 69 28
                                    

Saat masih asyik mengobrol santai dengan Dimas, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada nama Brother muncul di layar, mengajak video call. Aku menatap Dimas yang melihatku dengan bingung.

"Ini Kevin, adikku, anak Papa dan Tante Natasha. Dia S-3 di Jepang dan baru 2 minggu lalu selesai sidang terbuka disertasi. Usianya setahun di atasmu," kataku pada Dimas, lalu menerima panggilan video dari Kevin. "Assalamu'alaikum, Vin?"

Tampak wajah adikku, duduk di dekat jendela kaca kamar asramanya. Cuaca di sana agak mendung, tetapi masih siang atau entah menjelang sore.
"Wa'alaikumsalam. Mbak, Papa gimana? Aku telepon Bunda belum diangkat."

"Tante Natasha di dalam, nungguin Papa. Di luar ruangan ada Tante Maya dan Mama. Juwi masih jemput Tante Mela karena Om Anton belum bisa out dari Ambarawa. Kamu sehat?"

"Alhamdulillah. Mbak Fara masih di RSSA? Papa gimana, Mbak? Aku dapat tiket penerbangan lusa. Bingung aku, Mbak."

Hatiku tiba-tiba terasa ngilu saat melihat Kevin menunduk, seperti tengah mencoba menahan tangis sekuat yang dia bisa.

"Vin, kamu yang kuat, ya! Kita doain Papa bareng-bareng. Kamu udah sholat? Di sana jam berapa sekarang?"

Kevin mengangguk. "Abis tilawah juga, tapi enggak konsen, Mbak. Di sini udah mau asar." Kevin terdiam sejenak ketika menyadari ada Dimas di sampingku.

Aku melirik Dimas yang mencoba mengalihkan pandangan dari ponselku, sepertinya dia tak ingin mengganggu komunikasiku dengan Kevin. "Ini Dimas." Aku tersenyum tipis, sebelum kembali melanjutkan. "Kami lagi deket."

Dimas langsung salah tingkah, sedangkan Kevin menatapku dengan wajah kaget. Beberapa detik kemudian, adikku itu terkekeh-kekeh. "Alhamdulillah. Akhirnya aku mau punya kakak ipar. Halo, Mas Dimas ... salam kenal, aku Kevin. Adik satu-satunya dan paling disayang Mbak Fara." Kevin tampak mencari-cari Dimas yang berusaha menghindar dari layar ponselku.

Aku tertawa kecil, lalu mengode Dimas agar dia mau coba mengobrol dengan Kevin. Meski masih terlihat grogi, akhirnya Dimas bersedia juga.
"Panggil saja saya Dimas, Mas Kevin. Saya setahun lebih muda dari sampean."

Kevin terdiam sesaat, lalu menampakkan wajah surprise-nya. "Gila! Mbakku beneran keren, dapet brondong, ganteng lagi. Hahaha ...."

"Heh, kurang ajar!" Aku membuat wajah kesal untuk Kevin sambil mendekat pada Dimas yang tengah menatap layar ponsel. "Emang kalau udah janda enggak boleh sama brondong?" tanyaku sebal.

"Siapa yang enggak ngebolehin? Haha .... Kaget aja karena ada yang mau sabar ngadepin mbakku yang judes ini." Kevin lalu kembali menatap Dimas.
"Mas, panggil aku Kevin aja, ya! Kan mau jadi adik ipar, umur itu enggak ngaruh. Kalau udah jadi keluarga kan statusnya sampean lebih tua. Biasain aja dari sekarang, plus biasa juga ya kalau aku sama mbakku bercandanya suka ngasal, enggak ada saringan kalau ngomong."

Aku tersenyum menatap Kevin yang di awal tadi terlihat sedih, sekarang bisa sedikit terhibur setelah mengetahui bahwa aku sedang dekat dengan Dimas.

"Udah berapa lama kenal, betewe?"

"Belum lama, sekitar hampir 4 bulanan lalu. Dimas mau wisuda S-2 Hukum di UB, sambil kerja di kafenya Mira. Lagi ikhtiar juga daftar dosen tetap non PNS. Doain keterima ya, Vin!"

"Insya Allah, semoga berkah buat kalian berdua. Aku cuma bisa bantu semangat dan doa buat kebahagiaan Mbak Fara dan Mas Dimas. Aku seneng banget karena mbakku akhirnya mau buka hati lagi. Enggak semua cowok itu kaya si land crocodile itu kan, Mbak?"

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang