"Orang bilang, kematian tidak memiliki alasan."
- Für Elise -
"Aku hancur."Tak terhitung berapa kali kau bilang bahwasanya dirimu hancur. Mungkin sudah ratusan, atau bahkan ribuan. Kalimat yang sama saja setiap kali mulutmu terbuka. Aku masih belum terlalu mengerti apa yang membuatmu hancur begini.
Setiap pagi, siang, petang bahkan malam. Setiap aku membuka pintu dan menghampiri kamarmu, kau menatapku dengan tatapan kosong. Sorot penuh luka.
Kau punya kebiasaan aneh, suka mendengarkan musik klasik seperti Für Elise atau Romance De Amor ketika malam hari. Dan kadang tidak jarang pula terbangun lalu memanggilku dan minta ditemani.
Katamu "dia pergi" dan terus mengulang-ulang ucapan itu sampai meneteskan air mata. Atau kalau bukan yang itu kau akan menanyaiku dengan sebuah pertanyaan yang jawabannya sungguh tak kupunya.
"Kenapa dunia ini kejam?" tanyamu tanpa menatapku sama sekali.
Aku tidak mengerti apa maksudmu, Tuan Kim.
Sejak pertama kali kutemukan, di musim dingin kau berjalan menyusuri kota dengan kaki telanjang yang nyaris lecet gara-gara permukaan trotoar yang kasar. Kau kenakan kemeja dengan sembarang, yang kancingnya terpasang selisih dan ada noda kopi di bagian perut, serta celana jeans pendek di atas lutut yang berwarna krem, pakaian itu tentu tidak bisa melindungi badan dari cuaca yang nyaris menusuk.
Di pertemuan pertama aku dibuat menyesal sebab memakimu tanpa alasan yang jelas setelah kau tabrak badanku tanpa sengaja, lalu kau menatapku dengan sorot yang waktu itu kuanggap "menjengkelkan". Yang harusnya aku sadar lebih dahulu, bahwa sorot menjengkelkan itu tidak lebih dari pandangan kosong dari seorang yang terluka.
Cukup lama bagiku untuk paham situasi yang kau alami, meski aku adalah seorang psikiater. Perlu waktu banyak bahkan berbulan-bulan, perlu tinggal bersama juga untuk bisa mengerti semuanya.
"Gajimu akan dinaikkan kalau bertahan," kata saudara tiri perempuanmu yang tidak tahu diri di kala aku berucap bahwa diriku terlampau letih untuk bertahan bersama orang yang sakit di sini.
Kwon Yumi, kakak tirimu itu biasanya cuma menghambur-hamburkan uang yang kau hasilkan dari kerja keras bertahun-tahun. Ia pergi pagi dan pulang larut malam dalam keadaan mabuk, sudah pasti ia cuma menghabiskan waktu bersama pria yang pergi bersamanya di setiap waktu. Sempat kudengar ia bicara pada seorang pria di depan rumah. "Dia akan mati dengan sendirinya, sekarang ia sudah gila," katanya memaksudkan dirimu.
Ada juga satu waktu di jam tidur siang, ketika aku baru memberimu makanan dan obat penenang. Kupikir kau sudah tertidur setelah itu, sebab aku khawatir kau akan mendengar keributan di ruang tamu. Yumi bertengkar bersama prianya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret That Comes at The End [BTS Oneshot Collection]
Non-FictionTakdir selalu berhasil membawa kita pada hal yang tidak pernah disangka. Bagaimana bisa scenario kehidupan bermain begitu hebatnya? Setelah dibawa terbang, lalu dihempaskan. Namun aku tetap yakin bahwa tidak akan ada kegagalan selagi kita tetap beru...