Park Jimin | Surat pengkhianatanku

104 10 0
                                    

"Apa yang akan kau lakukan setelah tahu bahwa orang yang paling dekat denganmu ternyata menyimpan sebuah rasa."

"Aku akan menghindar."

"Tapi kenapa?"

"Ia pengkhianat."

.
.
.

"Aku ingat sekarang. Saat di desa."

Saat umurku masih sembilan atau mungkin sepuluh tahun aku pernah pergi ke desa. Tempat itu jauh, pantas disebut pelosok, desa itu benar-benar terpencil. Aku bermalam di sana selama tiga hari untuk menjenguk Nenek yang sedang sakit. Aku, Ibu dan Ayah memang cuma berada di sana selama tiga hari, karena di hari kedua, Nenek meninggal.

Malam hari setelah diselesaikannya upacara penghormatan terakhir untuk Nenek, kudengar Ayah sempat beradu mulut dengan Bibi di desa. Ada banyak kata-kata kasar yang melayang dengan mudahnya dari mulut Bibi malam itu, dan Bibi juga memarahi Ayah karena datang lambat sekali sehingga Nenek pergi lebih dahulu. Itu membuat Ayah menyesal karena terlalu sibuk di kota hingga nyaris lupa pada sosok Nenek yang memang sudah sakit-sakitan di usia senja.

Selama berada di desa, setiap malamnya aku mudah tertidur dengan nyenyak karena kesunyian yang tidak akan mungkin kudapatkan kalau sudah kembali ke kota lagi. Tapi ada juga saatnya aku mudah terbangun karena suara menyeramkan dari jalan sempit di pinggir sawah.

Ketika pertama kali mendengar itu aku langsung pindah kamar menuju tempat tidur Bibi. Kata Bibi itu hanyalah suara dari katak-katak yang menyeberang menuju sawah di seberang jalan. Mendengar bahwa itu hanyalah suara dari para katak aku jadi sedikit lega, lalu kembali ke kamar untuk lanjut tidur.

Sebenarnya kamar tempatku tidur selama di sana adalah ruangan bekas penyimpanan hasil panen kebun, tapi Bibi mengemasnya dan meletakkan sebuah karpet besar dan kasur yang hanya muat untuk satu orang di atasnya. Sebab tahu itu hanyalah ruangan bekas penyimpanan hasil panen, aku tidak bisa berharap banyak untuk penerangan ataupun hiburan televisi. Kamarnya berdampingan dengan sawah, jadi ketika melihat keluar jendela kaca aku cuma mendapatkan langit gelap gulita yang menyatu dengan sawah.

Pada malam kedua tinggal di desa, aku mendengar suara deru mobil pick up bersama cahaya dari lampunya, lalu diikuti suara aneh lagi. Sebelumnya ada suara yang sama seperti malam-malam sebelumnya──suara katak-katak yang menyeberang jalan──tapi malam itu suara-suara tersebut lebih tepat terdengar seperti suara katak yang hancur terlindas mobil.

Begitu pagi hari tiba, ketika semua orang panik karena mengetahui keadaan Nenek yang seluruh badannya sudah dingin, aku menyempatkan diri berlari menuju jalanan. Benar rupanya suara yang terdengar di malam kemarin adalah suara-suara dari segerombol katak yang mati terlindas.

Aku mengamati semua bangkai-bangkai katak itu selama lebih dari tiga puluh menit. Andai saja Ayah tidak memanggil, aku mungkin akan tetap di sana memandangi bangkai-bangkai menjijikkan itu.

Pada malam hari setelah upacara penghormatan terakhir Nenek, aku mendengar perdebatan Ayah dan Bibi ketika aku bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Sebelumnya aku diam-diam keluar sekedar untuk memeriksa katak-katak yang menyeberang jalan.

Sesaat setelah Ayah dan Bibi mengakhiri perdebatan mereka dan masuk ke dalam rumah, aku langsung cepat-cepat lari menuju sawah.

"Hus, hus, hus!" Samar-samar kudengar suara anak seumuranku, dia anak laki-laki dan kini berada di bawah tiang lampu jalan yang bersinar redup. Masih ada bangkai-bangkai katak yang mati kemarin, dan sekarang gerombolan yang lain masih menyebrangi jalan itu padahal sudah tahu gerombolan yang lain juga melakukan hal yang sama dan berakhir mati.

Regret That Comes at The End [BTS Oneshot Collection]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang