20 | Macchiato: Memang Gaya Hidupku Kenapa?

319 67 27
                                    

Tak terasa sudah hampir 3 minggu Papa pergi untuk selama-lamanya. Masih ada banyak jejaknya yang tertinggal di rumah besar ini, terlebih di hatiku.

Hari ini baru selesai acara tahlilan untuk Papa. Sambil menunggu Mama yang masih berbincang dengan Tante Natasha, Tante Maya dan Tante Mela, aku duduk santai di ruang tamu. Kutatap foto keluarga di dinding. Papa duduk di tengah dengan gagah. Berdiri di belakang ayahku itu ada Tante Natasha di tengah, lalu aku dan Kevin di sebelah kanan dan kiri.

Aku jadi ingat saat pengambilan foto itu sekitar 5 tahun lalu, sebelum Kevin berangkat S-3 ke Jepang. Sebenarnya aku tak mau ikut di dalamnya, tetapi Papa sangat menginginkan kehadiranku dan menyampaikan hal itu lewat Tante Natasha. Papa tak berani terus terang padaku, bahwa dia mau aku ikut foto bersama keluarga kecilnya.

Obrolanku dengan Tante Natasha waktu itu agak memanas dan berhasil mereda dengan ditengahi oleh Mama. Mama berhasil membujukku untuk mau ikut berfoto, sedangkan Tante Natasha makin terlihat tidak menyukai sikapku.

"Far, Dimas jadi bisa jemput? Kamu suruh bawa mobilmu, kan?" Suara Mama membuyarkan lamunanku.

Aku mendongak dan menatap Mama, lalu mengangguk. "Mau pulang sekarang?" tanyaku.

Mama balas mengangguk. "Udah hubungin Dimas?"

"Ini mau aku hubungi. Kan nunggu kode dari Mama dulu, maunya pulang kapan. Asyik bener ngobrolnya sampai lupa kalau udah hampir jam sembilan malem."

Mama terkekeh-kekeh. "Juwi udah pulang, a?"

Aku mengangguk lagi sambil mulai mengetik pesan WA kepada Dimas. "Iya, setengah jam lalu, dijemput pacarnya."

Mama tiba-tiba duduk di sebelahku, lalu berbisik, "Yasa itu udah resmi jadi pacar Juwi, a, Far? Tau enggak kamu? Maya bangga-banggain dia terus, deh."

Aku segera menatap Mama, setelah menekan tombol send. "Bangga-banggain gimana?" tanyaku sambil mengangkat kedua alis.

Mama mengangkat bahu. "Ya bilang kalau dia itu anaknya pasangan PNS, anak tunggal. Terus di angkatan S-2nya, dia punya IPK paling tinggi, tapi sidang tesisnya telat karena sibuk jadi asdos gitu, terus ikut penelitian tingkat nasional. Bawaannya mobil bagus dan mahal."

Mama mendekat lebih rapat dan memelankan lagi suaranya di dekat telingaku. "Tapi, kalau menurut Mama dia kok kaya model-model Haris gitu, agak suka bersolek ... eh, apa ya namanya itu, Far. Cowok metropolis--"

"Metroseksual, Mama," koreksiku, lalu terkekeh-kekeh. "Udah, Ma. Biarin aja. Kaya enggak tau Tante Maya aja. Pas pacaran sama Beni dulu mencak-mencak dan minta Juwi cepetan putus karena Beni anaknya petani di desa. Padahal, petani di desa kan kebanyakan orang kaya."

Aku lalu menggeliat, sebelum kembali berkata, "kayanya bener omongan Dimas waktu itu, kalau selera Juwi emang high class. Bisa jadi karena tuntutan dari Tante Maya."

Mama mendengkus. "Kalau Mama ya jelas lebih suka cowok kaya Dimas, tuh. Kalem, sederhana, murah senyum dan polos."

Aku terkejut dan segera menatap Mama dengan intens. "Serius Mama enggak malu bakal punya menantu yang jarak usianya dari aku jauh banget dan dia anak orang biasa aja, yatim piatu--"

Mama langsung mencubit pipiku. Kemudian, dengan gemas menyahut, "Kamu ngejek Mama, ta? Mama kan dulu masa lalunya juga kaya Dimas. Bisa kaya sekarang ini juga karena mulai dari nol."

Aku tersenyum geli dan mengangguk. Senang rasanya karena Mama, tanpa harus membanggakan Dimas ke mana pun, ternyata menyukai lelaki pilihanku dengan tulus. Aku tak lagi ingin menampakkan keunggulan diri atau calon pasanganku pada siapa pun, seperti saat aku akan menikah dengan Haris dulu.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang