00. Prolog

60 9 11
                                    

Bau matahari yang berasal dari tubuh manusia-manusia yang tampak kering teepanggang panasnya matahari bercampur dengan bau pengharum ruangan di ruangan ber-AC yang sesak. Mata-mata sayup dan helaan nafas lelah dapat dilihat dan terdengar dari sana-sini. Beberapa dari mereka bahkan menguap dengan terang-terangan tanpa mau repot-repot menutup mulut mereka dengan sebelah tangan.

"Hahahahah capek, ya? Sabar ya, sebentar lagi pembinanya dateng kok. Kalian kalau ada yang bawa makanan, makan aja dulu gak papa." Gadis cantik di depan sana tersenyum seraya merapihkan beberapa kertas yang ada di tangannya.

Gadis itu- Dia masih tampak begitu cantik dan segar. Berbanding terbalik dengan keadaan Raechan yang sudah mulai kumal dan bau badan.

"Rae, mau gak?" Bisikan lembut dari arah samping membuat Raechan menolehkan wajah, menatap malas ke arah seorang gadis lain yang menyodorkan sebungkus permen karet. "Gak ada yang lain? Nasi padang gitu kek." tanyanya dengan malas.

"Nih jigong gue mau?"

"Jorok lo!" hardik Reachan ketus, menambahkan sedikit toyoran ke kepala gadis yang sudah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun itu.

Namanya Klarisa, tapi Raechan dan sahabat Klarisa yang lain memanggilnya Ica. Raechan tidak terlalu ingat bagaimana akhirnya gadis dengan kepribadian yang sangat berbanding terbalik dengan dirinya itu bisa menjadi sahabatnya.

"Selamat sore, Pak."

Sapaan sopan yang serempak itu menyadarkan Raechan kalau pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok pria berkemeja putih yang terlihat terburu-buru. Beliau duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap kami satu-persatu seolah berusaha menguasai seisi ruangan.

"Maaf, ya, saya tadi harus ke kelas dulu." Beliau membuka briefing sore ini dengan permintaan maaf lalu melanjutkan, "Jadi gimana? Yang lolos seleksi pertama segini nih ya?"

Lalu briefing dimulai dari sana, membahas hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan. Telinga Raechan fokus pada penjelasan dosen muda itu tapi sayangnya indera penglihatannya justru tertaut pada figure cantik yang berdiri di pojok ruangan.

Hati Raechan berdesir tiap kali gadis itu mengulas senyum, mengangguk setuju ataupun menyanggah dan berpendapat. Dia tampak sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Bahkan Raechan mengagumi bagaimana jari-jari cantiknya bekerja sama ketika gadis itu menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga.

Gadis itu terlalu cantik untuk sekedar dipandangi, gadis seperti dia lebih layak untuk dijaga dan dilindungi. Dan entah mendapat wangsit dari mana, Raechan Leenandar merasa percaya diri bahwa dia tahu cara memperlakukan wanita secantik dia dengan baik.

Lama briefing itu berlangsung, hingga akhirnya Pak Wishnu- nama dosen muda itu- beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan.

**

"Kenapa lo, Rae, cengengesan aja? Kesambet setan Ruangan Pertemuan Umum lo?"

Seorang pria dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana kain hitam merasa terganggu dengan tingkah aneh salah seorang junior yang juga merupakan sahabat baiknya.

Sedangkan di sisi lain, pria dengan kemeja abu-abu tua yang kancingnya dibiarkan terbuka hingga menampakkan kaus putih di dalamnya hanya sibuk mengipas-ngipaskan selembar kertas yang dia ambil dari dalam tas. Tidak tampak tertarik dengan rasa penasaran si penanya.

LAGOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang