PERTAMA KALI AKU MELIHAT PEREMPUAN ITU di sebuah kafe kecil bergaya Prancis.
Aku meletakkan setumpuk naskah yang tersusun rapi di atas meja yang berada di depan kafe, kemudian memesan secangkir kopi espresso dan roti ayam panggang. Malam ini cukup tenang, dengan bulan yang bercahaya redup. Aku menarik napas perlahan, menatap ke arah setumpuk sampah yang ada di atas meja dan menerawang jauh ke dalam pikiranku.
Selama bertahun-tahun, hampir di setiap malam, aku selalu memikirkan hal yang sama. Mengapa adikku tidak ingin menerbitkan naskah novelnya? Mengapa setiap kali aku menyuruhnya untuk mencoba menerbitkan naskah itu dia selalu memberikan jawaban dengan menggelengkan kepala? Secara personal, aku sangat menyukai naskah ini. Bentuk surealisme dengan kesinisan yang filosofis.
"Sedang menunggu seseorang?"
Suara seorang perempuan menyadarkanku dari lamunanku.
Aku menatap perempuan itu kemudian menjawab dengan anggukan kepala secara spontan.
"Begitu, ya," katanya, suaranya lembut.
Seandainya aku sedang tidak patah hati, mungkin aku akan mengajaknya untuk duduk berdua denganku. Dia tipe perempuan yang tidak mudah dilupakan, terutama di bagian kedua matanya. Entah apa yang tersembunyi di balik bola matanya yang berwarna hitam itu, sepertinya ada sesuatu yang misterius di dalamnya.
Perempuan manis itu memalingkan tubuhnya dan menghilang di dalam kafe. Matanya yang terlihat seperti ingin menangis masih membekas di dalam ingatanku meskipun sosoknya telah lenyap. Selama dua jam penuh aku menghabiskan sembilan batang rokok, segelas kopi, sepenggal roti panggang dan beberapa kacang-kacangan, tapi aku tetap duduk sendirian.
Aku membohongi perempuan itu. Aku tidak menunggu siapa pun. Aku hanya baru saja ditelantarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Long And Winding Road
General Fiction"SUATU SAAT NANTI AKU AKAN PERGI JAUH." Kalimat itu diutarakan oleh seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun. Saat itu umurku sama dengannya, dan aku belum merokok. Sebagai anak remaja empat belas tahun, aku tidak benar-benar mengerti maksud...