SI GENIUS masuk ke dalam kamar setelah selesai makan malam. Aku mengikutinya, berbaring di atas ranjang sedangkan dia kembali lagi membaca buku.
"Mengapa kau menghabiskan banyak waktumu dengan membaca buku?"
Adikku masih membaca buku, menulis beberapa catatan di atas kertas miliknya, lalu menjawab setelah beberapa lama terdiam.
Jawaban yang dilontarkannya teramat sangat sederhana. Senyum sinisnya selalu muncul sebelum berbicara.
"Karena aku menyukai buku."
Aku terdiam. Kemudian memikirkan hal yang serius. Sambil memandang langit-langit aku berkata, "Meskipun kita ini mirip, kita berdua tidak menyukai banyak hal yang sama, ya. Aku kira, kebanyakan saudara kembar melakukan hal yang sama dan menyukai hal yang sama."
Si genius menyimpan alat tulisnya, menyesap sedikit teh daarjeling-nya kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Memang, kebanyakan saudara kembar melakukan dan menyukai hal yang sama. Tapi-tidakkah itu terdengar membosankan?"
"Membosankan?"
Tangan kirinya memutar-mutar pulpen.
"Jika kita berdua melakukan hal yang sama dan menyukai hal yang sama-" katanya, menunjukku dengan pulpen yang dipegangnya-"Sampai kapan pun kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri. Kita tidak akan mempunyai identitas sendiri dan pemikiran sendiri. Jika kita melakukan dan menyukai hal yang sama, kita akan cenderung memiliki pola pikir yang sama. Dan ini-aku tidak menginginkannya."
"Mengapa?" hanya kata itu yang bisa kukeluarkan dari mulutku.
"Karena aku tidak ingin menjadi dirimu, dan aku tidak ingin kau menjadi diriku. Aku ingin kita menyukai hal yang berbeda, melakukan hal yang berbeda, sehingga kita akan mempunyai pola pikir yang berbeda. Aku tidak ingin kita mempunyai bentuk yang sama."
Dia terdiam selama sepuluh detik, menyimpan pulpennya lalu kembali berbicara dengan nada serius. "Suatu saat nanti aku akan pergi jauh."
Dia menatapku dengan serius.
"Kau harus menjadi dirimu sendiri, Darwin. Kau harus mencari alasan mengapa dirimu dilahirkan dan untuk apa kau hidup di dunia ini."
Aku hanya bisa mengangguk mendengar perkataannya.
"Aku rasa seharusnya kau saja yang menjadi seorang kakak. Bukan aku."
Adikku hanya tersenyum.
Saat dia mengatakan bahwa dia akan pergi jauh, entah mengapa aku merasa sangat kesepian.
*
Empat hari sudah berlalu sejak perbincangan kami. Aku masih melakukan hal yang sama, begitu juga dengan si genius yang masih sibuk dengan buku dan tumpukkan kertasnya yang semakin menggunung. Seusai pulang dari sekolah aku kembali menanyakan hal yang sama saat dia duduk di meja belajarnya.
"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan? Sudah seminggu lebih kau terus-menerus melakukan hal yang sama seperti itu."
Dia akhirnya berkata jujur.
"Aku sedang memanjangkan cerita yang pendek."
Aku mendesah karena dia suka sekali membuat sesuatu yang sebenarnya mudah menjadi rumit.
"Aku sedang menyelesaikan sebuah novela."
"Apa yang kau ceritakan?"
"Rahasia."
"Sudah selesai?"
"Belum. Masih banyak yang harus ditulis dan diperbaiki. Aku akan memperlihatkannya kepadamu saat cerita ini sudah selesai."
"Baiklah."
Beberapa menit kemudian seorang guru datang ke rumahku. Tiga hari yang lalu aku memutuskan untuk belajar melukis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Long And Winding Road
General Fiction"SUATU SAAT NANTI AKU AKAN PERGI JAUH." Kalimat itu diutarakan oleh seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun. Saat itu umurku sama dengannya, dan aku belum merokok. Sebagai anak remaja empat belas tahun, aku tidak benar-benar mengerti maksud...