Kau Sudah Mengatakan Kalimat Itu Berkali-kali

13 1 0
                                    

HUMAN RELATIONSHIPS ARE STRANGE. Begitulah yang dikatakan Bukowski.

*

Musik menyedihkan mengalun lembut. Hellen Calus memainkan biolanya dengan perasaan sedih yang tak tertahankan. 12 Etudes No. 3 in E major.

Dua hari setelah perempuan itu memutuskan untuk pulang, aku masih memikirkannya. Aku masih memikirkan alasan mengapa ia pergi dari rumahnya, didatangi seorang lelaki aneh yang menyusul dan mengajaknya pulang. Jika hanya karena pertengkaran sepasang kekasih, aku rasa apa yang perempuan itu lakukan sangatlah konyol. Mengapa pula dia harus meninggalkan rumah? Pilihan terbaik pada saat itu yang mungkin akan aku lakukan adalah meminum minuman keras. Akan tetapi-jika perempuan itu melakukan apa yang aku pikirkan, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengannya. Mungkin dia tidak akan menemaniku minum, tidak akan menginap di rumahku, dan aku tidak akan pernah melihat matanya. Jujur saja. Meskipun hanya mengenalnya selama beberapa hari, aku merasa senang. Dia telah mengisi hari-hariku yang kosong dan membantuku melupakan seseorang. Sebagai balasannya? Aku merasa aku belum membantunya sama sekali.

Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas laci dekat pengeras suara. Sejak aku memutuskan sambungan telepon, aku tidak pernah menyentuh ponsel ini. Aku benar-benar lupa dan aku tidak meminta nomor perempuan itu. Lagi pula, sejak aku bertemu dengannya, dia tidak pernah sekalipun mengeluarkan ponsel dari tasnya. Hal lain yang menggangguku adalah mengapa lelaki itu bisa tahu bahwa perempuan yang kabur itu ada di kota ini?

Aku menyalakan layar dan melihat beberapa pesan baru muncul.

"Apa kau ingin kopi?"

Begitulah isi pesannya. Aku membalas pesan, membersihkan diri, kemudian pergi.

"Aku ingin bir," balasku.

*

Lima belas menit aku menunggu, akhirnya dia datang.

"Sudah pesan?" katanya, dengan nada suaranya yang sedikit serak.

"Aku sedang ingin bir."

"Tidak ada, bodoh. Pesan yang lain," balasnya saat berhasil duduk di atas kursi dan merapikan rambut panjangnya yang berwarna hitam dan biru. Perempuan memang rumit.

Aku melihat menu, memesan kopi hazelnut dingin kemudian berkata pada lawan bicaraku, "Minta rokok."

Dia membuka bungkus rokok, membakar sebatang untuknya, lalu mengacungkan sebatang lagi padaku.

Aku mengisap rokok perlahan sambil memerhatikan kafe yang bergaya "Cozy". Sepasang audio baru saja dirapikan di samping panggung kecil, peralatan musik lainnya sedang disetel. Satu jam. Perempuan yang berdiri di hadapanku hanya mempunyai waktu satu jam untuk mengobrol denganku sebelum pada pukul delapan malam dia harus naik ke atas panggung itu, menyapa pengunjung dan beberapa penggemarnya, lalu menyuruh teman panggungnya untuk memetik gitar saat dia mulai bernyanyi. Aku memanggilnya Emi.

"Emi," panggilku. Dia mengisap rokok dengan cara yang aneh dengan bibir kecilnya, lalu menatapku.

"Di mana pacarmu?"

"Aku sudah memutuskannya," katanya dengan nada seakan itu hal yang sepele.

Betapa melegakannya. Aku kira hanya aku saja yang sedang patah hati, tapi perempuan yang pernah bertemu denganku dan yang baru saja berbicara denganku pun mengalami hal yang sama. Bukan hanya kau saja yang menderita, aku berbisik kepada diriku sendiri.

Emily mengibaskan abu rokok yang terjatuh di antara baju polos dan kardigan rajutnya. Dia melanjutkan dengan keluhan yang sudah berkali-kali keluar dari mulutnya.

"Sepertinya kisah percintaanku sedang tidak berjalan mulus," katanya, seakan-akan dia memang menderita. Dia menyesap sedikit es teh persiknya yang baru saja tiba sementara aku mengaduk-aduk kopi hazelnut dengan sedotan.

Aku mengenalnya sudah lebih dari empat tahun sejak kuliah. Memang benar, sepertinya kisah cintanya berjalan kurang mulus sejak setahun yang lalu.

"Kenapa? Bukannya dia orang yang baik?"

Dia menggeleng sedih sambil meniupkan asap rokok. "Hanya di awal saja," katanya setengah mendesah. "Kau tahu, sifat asli seorang lelaki baru akan muncul setelah dia berhenti merasa penasaran pada wanita."

Setelah menyesap hazelnut dan mengisap rokok, aku menyanggah dengan berat hati. "Tapi aku tidak seperti itu," jawabku setengah sedih. "Kau hanya belum beruntung. Siapa tahu, suatu saat nanti kau akan mendapatkan lelaki yang memperlakukanmu dengan baik. Seorang lelaki yang akan membuatmu merasa bahwa kau adalah perempuan paling beruntung di dunia ini."

Emi menyesap lemonnya sedikit sambil menatapku tajam.

"Apa lelaki seperti itu memang ada?"

Aku mematikan rokok yang masih panjang dan menjawab. "Tentu saja ada."

"Di mana?"

"Di sini," aku menjawab lantang.

Emi menghela napas lalu membuang pandangannya. Aku bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Bukankah aku sudah menyarankanmu untuk beristirahat sejenak? Tahun ini sepertinya kisah cintamu lebih buruk dariku. Sudah berapa kali kau ditipu oleh lelaki?"

Dia terlihat ingin menangis.

"Empat. Dan itu belum setahun."

"Kau benar-benar sial," kataku. "Kau itu terlalu baik kepada orang lain."

"Benarkah!?"

"Dan kau mudah sekali ditipu. Kau payah."

"Sial!"

Dia menjejalkan puntung rokonya dengan perasaan setengah kesal, lalu melanjutkan keluhannya setelah teman sepanggung yang menyapanya berlalu.

"Sepertinya aku memang harus beristirahat," ucapnya pada akhirnya. "Aku tidak akan mencari seorang pacar."

"Sudah empat dan ini yang kelima kalinya kau berkata seperti itu," kataku, mencoba mengingatkannya dengan fakta yang ada.

Dia terdiam selama beberapa detik, lalu melanjutkan dengan nada putus asa, "Aku kira aku harus mementingkan karierku lebih dulu," katanya, setelah puluhan surat lamaran pekerjaan yang dia kirimkan sejak kelulusan tidak menemui titik terang.

Aku menyalakan rokok lagi sambil menanggapi perkataannya dengan nada menyindir.

"Kau sudah mengatakan kalimat itu berkali-kali."

"Kali ini aku serius!"

"Kau sudah mengatakan kalimat itu berpuluh-puluh kali."

Saat Emi sedang bersiap untuk naik ke atas panggung, aku berkata padanya bahwa aku ingin pergi melihat laut. Aku melenggang dari kafe, pergi ke bar untuk minum wiski dan berpamitan pada pemilik kafe yang baik.

Dia memberiku sebotol bir untuk perjalanan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Long And Winding RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang