Si Genius

12 3 4
                                    

"SUATU SAAT NANTI AKU AKAN PERGI JAUH."

Kalimat itu diutarakan oleh seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun. Saat itu umurku sama dengannya, dan aku belum merokok. Sebagai anak remaja empat belas tahun, aku tidak benar-benar mengerti maksud dari perkataannya. Satu hal yang aku mengerti. Dia mengatakan kalimat itu dengan penuh kesungguhan.

*

Aku mempunyai seorang adik laki-laki. Dia merupakan kembaranku. Ya. Kami berdua mirip dari bentuk fisik. Tinggi, berat badan, dari segi fisik-aku hanya unggul dari kedua hal tersebut. Sedangkan dari segi mental, emosi, sikap atau perilaku, aku tidak dapat mengatakan bahwa aku juga lebih baik. Dalam hal ini-unsur genetik menjadi pembeda di antara kami berdua.

Dapat dikatakan bahwa emosi, cara berpikir, dan berperilaku, aku mendapatkan semuanya dari gen ayahku. Semuanya biasa saja-sesuai standar. Emosiku seperti ombak, cara berpikirku sungguh tidak imajinatif, dan sikapku mengikuti standar moral yang berlaku di masyarakat. Adikku mendapatkan semuanya dari ibuku. Emosinya, dia terlalu tenang untuk seukuran anak remaja. Cara berpikirnya terlalu cerdas untuk anak lelaki berusia empat belas tahun, dan perilakunya berubah-ubah seperti seorang aktor di atas panggung. Aku memanggil adikku "Si Genius".

Aku mengetuk pintu kamarnya, berteriak memanggil namanya sebanyak tiga kali, kemudian aku memaksa masuk karena tidak mendapat jawaban. Lagi pula, kamarnya itu kamarku juga.

Aku membuka pintu dan melihat si jenius sedang duduk di depan meja belajar sambil membaca buku.

"Hei, apa yang sedang kau lakukan? Ibu menyuruhku mengajakmu turun untuk makan malam bersama."

Adikku menatapku dengan tatapan tajam. "Mencari referensi," balasnya, dengan nada suara yang terdengar seperti seseorang yang bijaksana. Aku tahu nada itu dibuat-buat.

"Referensi? Untuk apa?"

"Rahasia," katanya, kemudian turun dari kursinya. "Menurutmu, mengapa kita tidak boleh memelihara seekor kucing?" dia bertanya. Kali ini nada suaranya menjadi seperti nada seorang bocah pada umumnya.

"Karena ibu tidak menyukainya?"

"Tidak. Itu karena, kucing itu tidak bisa dibentuk." Si genius menjawab saat berdiri di sampingku.

"Maksudmu?"

Kami mulai berjalan meninggalkan kamar, mencoba menuruni anak tangga.

"Ya, kucing-sampai kapan pun, tidak akan pernah menjadi cerdas meskipun kau sudah berusaha keras untuk mendidiknya. Karena itu, memelihara kucing merupakan hal yang sia-sia dan merepotkan."

Mendengar perkataannya yang seperti itu membuatku muak. Kenapa juga aku harus memelihara kucing dan mencerdaskannya? Aku tidak tahu pembicaraan ini menjurus ke arah mana. Aku hanya harus bersabar. Sebentar lagi kami akan menuruni anak tangga terakhir dan percakapan kami akan berakhir saat kami berada di ruang makan. Tidak lama lagi.

"Apa kau pernah mendengar kisah tentang kucing yang membenci manusia?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu, akan kuceritakan nanti. Tentang kucing yang menolak manusia. Tentang kucing yang membenci manusia."

Aku tidak dapat mengomentari kalimatnya. Kami berdua sudah sampai di ruang makan.

The Long And Winding RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang