Pulanglah

13 3 6
                                    

"JANGAN MENYENTUHNYA!"

Tangannya dengan cepat kembali terangkat. Perempuan itu terkejut saat mendengar teriakanku. Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Kau tidak boleh menyentuhnya. Hanya itu yang tidak boleh kau sentuh."

Perempuan itu masih bergeming di sana. Aku mencoba menenangkan perasaanku. "Maafkan aku. Tiba-tiba aku berteriak begitu saja."

Perempuan itu mengangguk pelan, kemudian mengambil napas dalam-dalam.

"Pukul berapa sekarang?"

"Sebelas siang," jawabnya pelan.

Aku mengangguk, turun dari tempat tidurku, menyimpan setumpuk kertas itu ke dalam map, kemudian turun ke bawah. Perempuan itu mengikuti.

Hanya ada sekaleng bir dan kola di dalam kulkas.

"Mau bir?" kataku.

"Tidak."

Perempuan itu duduk di sofa.

"Kalau kola?"

"Terima kasih."

Aku memberikannya kola, sedangkan aku menyesap bir.

Dia berkata tiba-tiba, "Aku sudah memasak. Aku pikir kau akan lapar saat terbangun, lalu aku membuat nasi dan omelet. Aku naik ke atas untuk memastikan apakah kau sudah bangun atau belum. Saat aku melihatmu tidur, aku ingin menunggumu dengan membaca buku. Tapi aku malah mengacaukannya."

"Lupakan saja tentang hal itu," kataku sambil menyalakan rokok.

"Jadi, di mana tempat tinggalmu?"

"Di dekat laut."

"Begitu. Pasti menyenangkan setiap hari bisa melihat laut."

Dia hanya terdiam sambil memandang botol kola.

*

Tidak ada pekerjaan, tidak ada yang bisa dilakukan. Aku mencoba membunuh waktu dengan membaca tulisan Plato, sedangkan perempuan itu sibuk menonton televisi. Aku penasaran, sampai kapan perempuan ini mau tinggal di rumahku? Aku ingin menanyakan hal ini padanya, tapi aku merasa ragu. Bagaimana pun, sejak dia mengisi keberadaan yang kosong di rumah ini tiga hari yang lalu, aku merasa sedikit senang.

"Aku bosan makan makanan cepat saji di rumah ini," kataku sambil berjalan ke arah perempuan itu. Dia sedang duduk di meja, baru saja mulai membaca puisi Bukowski. "Bagaimana jika kita makan di luar dan menghirup udara segar?"

"Mengapa Bukowski membenci manusia?"

Dia mengabaikan pertanyaanku.

Aku mengisap rokok saat berada di sampingnya, melihat halaman yang sedang dia baca.

"Bukowski bukan membenci manusia, melainkan membenci apa yang dilakukan oleh mereka. Dia tidak menyukai apa yang dilakukan oleh orang-orang karena apa yang mereka lakukan hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, menurut Bukowski, manusia akan menjadi tiada dan menjadi sia-sia. Seperti hubungan manusia, pekerjaan, tujuan hidup, semuanya akan menghilang dan tidak akan menjadi apa-apa bagi individu."

Perempuan itu tertawa sinis. "Orang yang aneh."

"Justru karena dia aneh, dia menjadi terkenal. Pandangannya yang nihilistik benar-benar merubah sudut pandang kebanyakan orang."

Aku melihat penggalan puisi lain karya Bukowski di halaman buku, tersenyum, kemudian mengajaknya pergi keluar rumah sekali lagi. Dia akhirnya mengangguk.

Kembali lagi di kafe kecil bergaya Prancis, aku duduk di luar, berhadap-hadapan dengan perempuan bermata sayu, kemudian memesan makanan. Aku rasa, makan bersama seseorang di sore hari bukanlah hal yang buruk juga. Dia memesan salad dan es krim, sedangkan aku memesan steak dan bir.

The Long And Winding RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang