22 | Bulletproof: Karena Kau Juga Ibuku

328 72 26
                                    

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.30. Dimas ada shift di The Jeann's, karena ini hari Rabu. Dia kuminta membawa mobilku karena hujan deras turun sejak pukul 16.30 tadi. Sekalian kalau dia sudah selesai kerja, kuminta jemput di rumah Papa.

Saat ini aku duduk sendirian di ruang makan, menikmati musik klasik dari tape yang biasa Papa putar saat menyantap makan malam. Nostalgia lagi, pada ekspresi Papa yang selalu datar dan beliau yang tak banyak bicara.

Kemarin Kevin menelepon lewat WA, mengatakan kalau dia sempat mengajak Dimas video call. Memang adikku itu meminta nomor Dimas, katanya ingin lebih akrab dengan calon kakak iparnya. Kevin sangat senang dengan keputusanku memilih Dimas sebagai calon suami. Dia mengatakan bahwa Dimas sosok yang sederhana, baik dan meski jauh lebih muda, tetapi sangat dewasa dalam tutur kata. Kevin beranggapan, pasti dalam tingkah laku pun Dimas juga sama dewasanya. Memang, sih, aku mengakui hal itu.

Setelah seminggu lalu sempat bermasalah, aku dan Dimas tak lagi menyinggung tentang Haris dan Yasmin. Dimas berkata padaku lewat telepon WA-nya tadi pagi, saat aku masih di kantor. Katanya Mbah Uti jadi mau ikut ke Malang pas acara wisuda Dimas hari Sabtu ini. Mbah Uti mengatakan ingin bertemu denganku.

Dimas juga bercerita, bahwa Bulik sudah tahu tentang pertengkaran Dimas dengan Haris dan Yasmin. Ketika kutanya bagaimana reaksi bulik atau om-nya, Dimas hanya menjawab bahwa aku tak perlu khawatir. Saat nanti bertemu Bulik dan Om, Dimas memintaku mengatakan yang sejujurnya saja. Toh, semua keluarganya sudah tahu sosok seperti apa Haris itu.

"Maaf, bikin kamu nunggu lama." Tante Natasha keluar sambil membawa nampan berisi dua cangkir kecil berwarna krem.

"Tante bikin apa? Kok enggak bilang aku? Kan aku bisa bantu." Aku berdiri untuk mengambil dua cangkir itu dari nampan dan meletakkannya ke atas meja.

Tante Natasha duduk di depanku. "Kamu kan capek. Enggak pa-pa, lagian aku juga baru tahap belajar, siapa tahu rasanya sesuai dengan seleramu yang penggila kopi kaya papamu."

Aku ikut duduk, mengamati bulletproof coffee buatan ibu tiriku tersebut. "Tante belajar dari siapa? Bagus sekali ini, kayanya enak."

Tante Natasha tersenyum tipis. "Cobain aja, terus kasih saran apa yang kurang. Kali aja menteganya kebanyakan atau malah kurang."

Aku lalu menyesap pelan isi cangkir ini. "Enak, deh. Siapa yang ngajarin Tante?" tanyaku penasaran.

"Sepupu si Mira itu." Tante Natasha mulai ikut menyesap bulletproof-nya sendiri.

"Rega? Kok Tante bisa kenal Rega?" tanyaku bingung.

Tante Natasha meletakkan cangkirnya. "Aku kebetulan satu pengajian sama istrinya Rega. Dia baru aja lahiran."

"Maksud Tante, si Salsa itu? Wah, setelah berjilbab, sekarang dia mulai ikut pengajian, a?"

Tante Natasha mengangguk. Dia lalu menatapku intens. "Kamu enggak pengen menutup aurat, Far? Pakai jilbab maksudku."

Pertanyaan Tante Natasha membuatku kaget. Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali bersuara. "Enggak maksud apa-apa, cuman kamu tau sendiri kan kalau menutup aurat itu kewajiban semua Muslimah? Papamu juga beberapa kali kasih kamu nasehat. Baik secara tersirat atau lewat sindiran. Meski aku sendiri juga telat sadar sama kewajiban itu."

Aku mengangguk, sambil mengaduk bulletproof di cangkir. Tante Natasha melanjutkan. "Aku minta kamu ke sini, selain buat bahas semua amanah Mas Hendri, juga pengen ingetin kamu hal itu. Buat Kevin, Mas Hendri pengen dia berhenti ngerokok, karena enggak mau paru-paru Kevin rusak kaya dia. Terus buat kamu ya itu, pengennya kamu bisa menjalankan kewajibanmu sebagai Muslimah dengan berjilbab."

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang