23 | Bicerin: Mengenal Mereka Lebih Dekat

293 74 16
                                    

Satu hal yang aku sukai dari The Jeann's milik Mira ini, di lantai dua ada VIP room yang bisa dipesan untuk rapat, acara ulang tahun, atau pertemuan keluarga. Ruangannya sih tak seberapa besar. Namun, penataan ruangan dengan model lesehan dilengkapi beberapa bantal serta karpet beludru yang hangat, membuat nyaman siapa pun yang ada di dalamnya.

Hal yang paling membuat spesial adalah adanya menu khusus yang hanya diperuntukkan bagi para pelanggan yang memesan ruang itu saja, yaitu bicerin. Espresso yang dipadukan dengan dark chocholate itu sangat jarang ditemukan di Indonesia. Tak banyak kafe kopi yang menyediakan bicerin, karena tak sembarang cokelat hitam bisa membuat espresso yang bercampur dengannya menjadi nyaman di lidah.

Aku menghidu bicerin hangat di depanku sambil memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dari rasa gugup yang melandaku sejak melangkah masuk ke ruangan VIP ini. Aroma espresso memang mampu membangkitkan rasa percaya diri. Aku ingat kata-kata Kevin sekitar 6 tahun lalu, setelah dia lulus S-2, saat hari wisudanya.

"Kalau aku mulai menggila, selain nguatin ibadah ke Allah, aku coba buat ngehirup espresso, Mbak. Beda banget sama kalau kita ngehirup coffee humidifier atau parfum kopi deh pokoknya. Itu kata Papa."

Selama ini aku menjadikan kopi sebagai minuman favorit yang membuatku lebih nyaman atau sekadar penghilang stres tanpa benar-benar menikmati baunya. Memang aku dan Kevin adalah korban Papa yang sangat mencintai kopi.

Aku melirik jam tangan dan sedikit kaget karena tak menyangka waktu berjalan begitu cepat. Kusesap pelan bicerin, lalu meletakkan kembali cangkirnya ke meja. Kemudian, kuambil compact powder dari dalam tas, memerbaiki sedikit riasan di wajah.

Astaga! Apa aku pernah merasa seperti ini sebelumnya, saat dulu bertemu keluarga Haris? Rasanya tak setegang sekarang, deh! Kenapa bertemu keluarga Dimas bisa membuatku seperti hampir mati kutu begini, ya?

Aku menghela napas. Pukul 11.05. Pastinya acara wisuda Dimas sudah selesai. Mereka pasti tengah menuju ke sini. Ya, memang aku yang mengajak mereka ke The Jeann's. Sebelum acara makan-makan di rumah Yasmin, sekalian mereka hendak bertemu dengan Haris dan ibunya. Oh, tentu saja aku tak ikut dan tak akan ikut nantinya.

Dimas juga sudah minta izin untuk tidak datang ke tempat Yasmin dengan alasan sudah ada janji makan siang bersamaku dan Mama. Mama memang sudah meminta Mbak Minah masak besar untuk makan siang. Juwita dan Yasa rencananya juga akan ikut makan bersama kami di rumah.

Aku melihat ke arah pintu dan kaget karena ternyata Dimas dan keluarganya sudah datang. Tenang, Fara! U can do it!

Aku berdiri dan tersenyum pada seorang nenek yang terlihat menggandeng lengan Dimas. Pasti beliau itu Mbah Uti. Masih tegak saat berjalan, tidak bungkuk, tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran lansia atau seorang perempuan, hampir sama tinggi denganku. Kulitnya putih, meski telah banyak keriput. Beliau mengenakan jilbab panjang menutup dada dan gamis bunga-bunga dengan warna biru langit.

"Assalamualaikum." Sapaan hangat Mbah Uti membuatku langsung datang dan mencium tangannya.

"Duh, ayune!"

Pujian Mbah Uti membuatku mulai terserang gugup lagi. Aku melirik Dimas yang hanya terkekeh-kekeh, tetapi wajahnya agak memerah karena malu.

Setelah memersilakan Dimas dan Mbah Uti duduk, aku mendekati Bulik Lastri dan mencium tangannya. Perempuan itu terlihat lebih ramah dan cantik dibanding saat kami video call beberapa hari lalu. Kulitnya sawo matang seperti Dimas. Memakai jilbab ungu muda dan gamis warna ungu tua motif bunga-bunga.

"Om enggak ikut karena langsung ke tempat Yasmin, bantu-bantu Yasmin sebelum mertuanya yang cerewet itu datang dan bisa jadi ngomel kalau yang disiapkan enggak sesuai selera dia." Bulik Lastri berkata dengan ekspresi datar sambil duduk. Aku ikut duduk di sebelahnya.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang