24 | Dalgona Coffee: Kadang, Perpisahan Adalah Jalan Terbaik

302 70 21
                                    

Aku melirik kalender di dinding, lalu tersenyum. Dua hari lagi adalah awal titik balik hidupku akan dimulai. Setelah mendapat kontak Bulik, Mama langsung bergerak cepat menjalin komunikasi dengan beliau, juga dengan Mbah Uti dan Om.

Mereka sangat welcome. Entah bagaimana, rencana lamaran yang aku dan Dimas pikir akan berlangsung sebulan lagi—setelah masa orientasi dosen baru Dimas selesai—berubah jadi esok lusa. Mbah Uti yang minta dipercepat dan tentu saja Mama sangat senang.

Selain itu, Mama juga sering memuji Bulik Lastri yang katanya sangat baik dan seru untuk diajak mengobrol baik via telepon maupun pesan WA. Mama memang suka berbagi cerita dan sepertinya Bulik tipe pendengar yang baik. Maka wajar saja kalau mereka berdua bisa cepat akrab.

"Dik Lastri itu seru banget orangnya, Far. Selain enggak neko-neko, dia juga sopan. Kalem, tapi keliatan tegas juga. Kalau Mbah Uti keibuan banget, ya. Jadi inget almarhun mbah utimu."

Komentar Mama setelah beberapa hari dekat dengan Bulik Lastri itu masih kuingat sampai sekarang. Bahkan, waktu itu wajah Mama juga terlihat berseri-seri, seperti menemukan sebuah rumah baru yang nyaman setelah merasa kesepian di rumah lamanya.

Mengingat ekspresi dan nada bicara Mama yang membicarakan Bulik, membuatku tersenyum lega. Aku juga bersyukur karena keluarga Dimas begitu hangat dalam menyambutku dan Mama. Mereka sama sekali tak mempermasalahkan apa pun yang ada padaku dan seolah menutup telinga apabila ada suara orang-orang di luar sana yang berkomentar tentang perbedaan status, usia serta latar belakang keluargaku dan Dimas.

Kemarin Tante Natasha mengajakku ke butik salah satu teman Papa, membelikan kebaya baru warna ungu muda yang sangat cantik. Awalnya kupikir Mama yang akan mengurus hal itu. Namun, ternyata ibu tiriku tersebut sudah meminta izin Mama mengambil alih masalah baju lamaran.

"Tasha pengen banget milihin kamu baju yang bagus pas lamaran nanti. Katanya dia pengen kamu yang udah cantik dari sananya, keliatan makin anggun di hari bersejarah kamu ntar," kata Mama kemarin, sebelum Tante Natasha datang menjemputku untuk kami pergi ke butik bersama.

"Tasha antusias banget, Far, sama acara lamaran kamu. Beberapa temenku yang kebetulan kenal Tasha juga cerita kalau dia bahkan cerita ke sana-sini tentang kamu yang mau nikah sama cowok baik dan cakep," lanjut Mama sambil tertawa geli.

Tentu saja, setelah mendengar perkataan Mama itu, hati ini menghangat. Sungguh, aku bersyukur bahwa hubunganku dengan Tante Natasha menjadi lebih hangat dan makin dekat.

Tante Natasha juga makin sering datang ke rumah untuk ikut makan malam bersamaku dan Mama. Bahkan, beberapa hari lalu beliau menginap di sini sampai 3 hari lamanya. Alasannya sih karena bosan di rumah. Ya, wajar. Setelah Papa meninggal dan Kevin belum pulang dari Jepang, rumahnya pasti terasa sepi. Itu karena bangunan yang terlalu besar, tetapi penghuninya sedikit.

Di lain sisi, Tante Mela dan Tante Maya masih biasa-biasa saja, tak ada antusiasme atau kesan yang hangat mendengarku akan lamaran. Masa bodoh, karena tanpa mereka pun sudah banyak yang membantuku dalam mempersiapkan semuanya. Termasuk Galih, Mira dan Juwita.

Sayangnya, Kevin belum bisa pulang. Dia terpaksa menunda wisuda, tak jadi ikut kloter pertama, karena ada tawaran ikut penelitian guru besar yang menjadi promotor disertasinya. Kemungkinan malah adikku itu akan tetap berada di Jepang sampai sekitar setahun ke depan, jika dia dikontrak sebagai ketua pelaksana penelitian.

Aku lalu menguap, melirik jam dinding yang ternyata jarumnya sudah menunjukkan angka 22.30. Urusan pekerjaan yang menggunung ditambah persiapan lamaran ... ah, meski sangat sibuk dan melelahkan, tetapi hatiku merasa tenang dan tenang.

Kurebahkan badan ke atas kasur, lalu menutup mata sambil tersenyum tipis.

***

"Far! Fara!"

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang