Part 1

54 4 0
                                    

(*)Nocturne op.9 No.2

***

Dari awal kehidupannya memang sudah berantakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dari awal kehidupannya memang sudah berantakan. Tersenyum kearah penonton, memberi pertunjukan indahnya, berkata sopan dan manis, dan saling bertegur sapa dengan fans-nya.

Itu bukan kemauan dari dalam dirinya. Ia suka bermain piano. Ia suka menyalurkan emosinya. Tapi melodi itu sungguh tak ingin ia pertunjukan ke setiap orang. Ia membenci fansnya. Ia membenci para penontonya.

Helaan nafas berat terdengar di rungu setiap orang yang berada di mobil van itu. Pria bernama Adam juga mendengarnya. Sembari menyetir ia melirik ekspreksi kesal gadis itu melalui pantulan cahaya dashboard mobil. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" katanya.

"Seperti ini apanya?" gadis itu mengerutkan keningnya heran.

"Menerima mereka, fans mu, setidaknya kau bisa menggerutu di apartement saja," ucap Adam.

"Siapa kau? Berani menyuruhku?" balas gadis itu tak terima. Adam kembali diam dan tak ingin membahasnya lagi. Ia tahu jika gadis itu tak mungkin menerima apa yang bukan kehendaknya.

"Nona Melody, Tuan dan Nyonya Avalee mengundangmu untuk makan malam keluarga hari ini, mereka ingin berbicara denganmu," kali ini wanita yang duduk di samping pengemudi berkata.

Helaan nafas terdengar lagi dari mulut gadis itu. Ia tentu tak bisa menolak ajakan makan malam keluarganya sendiri. Jika dirinya boleh mengumpati keluarga palsu itu, maka ia akan berkata bajingan. Keluarga itu hanya penuh pencitraan di depan publik. Melody sudah terlalu muak untuk menanggapi. Andai saja ia tak dilahirkan di keluarga itu, hidupnya tak akan sehancur sekarang. Tidak, ia tak mau di lahirkan.

Mobil Vann itu berhenti tepat didepan pintu masuk utama rumah berornamen klasik yang mirip seperti Istana. Para pelayan membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dari mobil lalu menapakkan kakinya di lantai marmer yang harganya ratusan juta itu. Kemudian berjalan anggun melewati ornamen-ornamen klasik rumah itu. Gaun hitam yang menjuntai panjang terseret di lantai ketika ia berjalan. Bibir pucatnya terangkat, menampilkan senyum cantiknya. Kemudian kedua pelayan yang berdiri di depan pintu ruang makan mempersilahkan dirinya untuk masuk.

Belum ada makanan di meja itu. Artinya, mereka menunggunya.

"Maaf, aku terlambat," ucapnya. Kemudian gadis itu melangkah mendekati kursi lalu duduk di dekat kakak keduanya—Viola.

"Anak sialan, kemana saja kau?" bisik gadis itu. Seperti biasa, kakaknya mengumpatinya. Gadis itu tersenyum.

"Kenapa? Sudah lelah ya, menjadi bayanganku?" balasnya. Paras kakaknya mirip sepertinya yang membuat banyak orang mengira jika Viola itu Melody. Bukannya mebantah, kakaknya malah memanfaatkan ketenaran itu dan berlagak sepertinya, sampai-sampai harus meniru gaya bicaranya. Jika di rumah, Viola selalu menjadi limpahan amarah dari kedua orangtuanya ketika Melody membuat ulah. Walau mereka tahu di depan mereka adalah Viola, mereka tetap menghukum Viola, karena mereka tak mau repot-repot mencari Melody yang terpenting emosi mereka tersalurkan.

"Matilah," balas gadis yang lebih tua dua tahun dari usianya itu. Melody tersenyum puas atas jawaban dari kakaknya.

"Mengapa terlambat?" suara pria setengah baya itu membuatnya terganggu. Perasaan benci semakin menumpuk dihatinya.

"Jalanan ibu kota ramai, Ayah," ucapnya. Pria itu mengangguki jawaban dari putrinya. Ia kemudian memberi perintah kepada para pelayan. Makanan pun disajikan di atas meja. Sebuah daging steak rib eye di import langsung dari New Zeeland.

"Mengapa hanya dipandang? Tak suka?" gadis berusia sembilan belas tahun itu mengendikkan bahunya.

"Jangan berlagak tak sopan, Melody Avalee," Ibunya yang sedari tadi duduk dengan anggun pun angkat bicara. Gadis itu terkekeh pelan, ia benar-benar benci jika ibunya sudah menyebutkan nama belakangnya. Ia sudah muak tergabung dalam keluarga ini.

"Ada apa memanggilku kemari?" gadis itu berterus terang. Belum sempat pria setengah baya itu angkat bicara, terdengar nyaring bunyi pisau stainless yang terjatuh ke lantai.

Wajah pria paruh baya itu menegang. Sementara wanita elegan itu juga menghentikan suapannya, ia menggenggam erat gagang pisaunya. Emosi dalam hati mereka tampak tumbuh.

"Ah, Maafkan aku," ujar pemuda itu sembari tangannya bergetar. Ia sesosok terlupakan di keluarga ini. Kakak sulungnya—Calypso Avalee, ia merupakan pemain pendukung opera klasik, namun berhenti sejak setahun yang lalu karena cidera kaki yang membuatnya harus berjalan dengan kursi roda. Semenjak kakinya cedera, pemuda itu terus mengurung dirinya dan menjadi tak percaya diri. Melody merasa kasihan terhadap kakak pertamanya, ia tak pernah mendapat dukungan dari kedua orangtua itu semenjak cedera. Ia bahkan tak sebegitu tenar di kalangan konglomerat lain. Dahulu, ketika ada pertemuan kolega penting pemuda itu hanya muncul beberapa kali, entah apa yang membuatnya tak mau bergaul sehingga banyak orang tak mengenalinya.

"Berhati-hatilah Calypso," ucap pria setengah baya itu sedikit geram. Tangannya menggenggam erat gagang pisaunya. Sementara, wanita yang duduk disamping kanannya—berhadapan dengan Calypso itu masih berusaha tetap tenang, menjaga ekspresi wajahnya.

"Lanjutkan," suara wanita itu mengudara. Kemudian pria setengah baya itu mendengus. "Mereka mengundangmu lagi untuk bermain piano di pesta esok malam," ucap pria setengah baya itu.

"Lalu?"

"Kau wajib menerimanya, agar mereka mau bekerja sama dengan kita, keuntungan yang di dapat akan lebih besar," timpal pria tua itu.

"Aku menolak, lagi pula aku tak mau menjadi boneka kalian lagi untuk mencari keuntungan," ucap gadis itu kemudian bangkit dari duduknya.

Suara gebrakan meja terdengar. "Melody! Jangan bersikap kurang ajar kau!" urat-urat pria paruh baya itu sampai timbul di kulitnya.

Melody tak mengubrisnya, ia berjalan dengan elegan meninggalkan ruang makan itu. Umpatan dan makian atas dirinya pun masih terdengar ketika ia sudah berada diluar ruang itu.

"Anak sialan! Mati saja kau!" umpatan itu yang terakhir kali ia dengar sebelum suara-suara itu lenyap. Melody tersenyum puas sekali dengan umpatan-umpatan itu. Dirinya seperti mendapat dukungan penuh dari keluarga untuk mati. Ia jadi semakin yakin untuk meninggalkan dunia ini. Jadi, untuk apa masih bertahan dengan obat-obatan jika mereka semua telah mendukung dirinya?

"Bagaimana pembicaraan mu?" Adam berkata memecah keheningan di dalam Mobil Vann yang tengah berjalan itu.

"Diam, dan teruslah menyetir," gadis itu memejamkan matanya, "aku ingin tidur."

"Hey, aku bahkan tak tahu kita harus kemana?" jawab pria itu. Biasanya Melody akan menjawab apartement namun kali ini tak ada sahutan dari gadis itu.

"Mel," ia melihat kaca mobilnya.
Tak ada jawaban dari gadis itu.

"Nona Melody," Amber—asisten pribadinya yang duduk disamping Adam itu ikut memanggil.

"Nona kenapa?" tanya wanita itu. Adam bingung menjawab apa, ia terus menggeleng kemudian fokus menyetir.

"Nona," Amber menengok kebelakang kemudian menggoncang-goncangkan tubuh majikannya itu. Tak ada balasan darinya. Kemudian wanita itu meminta Adam untuk berhenti sejenak, meminggirkan Mobil Vann ini.

Amber melepaskan seatbelt—nya kemudian keluar dan membuka pintu penumpang. Ia mengecek keadaan Melody. Ia menyadari suatu hal yang mengganjal dari tubuh Melody. "Cepatlah ke rumah sakit!" ucap Amber khawatir.

***

Dido's LamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang