Part 2

48 4 0
                                    

(*)Serenade

***

Adam dan Amber merasa majikannya marah terhadap mereka setelah majikannya sadar bahwa ia tengah berbaring diatas ranjang rumah sakit.
"Mengapa kalian membawaku kemari?" tanya gadis itu, nadanya seperti sedang mengintrogasi seorang pencuri yang tertangkap basah oleh polisi.

Mereka berdua saling pandang dan saling tatap kemudian menyalahkan satu sama lain. "Hanya pertanyaan kecil, kalian tak mampu menjawabnya?"

"Lupakan, cepatlah urus administrasiku, aku ingin cepat-cepat keluar, terlalu memuakkan disini!" titahnya.

"Tapi kondisimu belum pulih, Mel, sudah berapa kali kamu melewatkan jadwal minum obatmu? Kau bahkan tak mau operasi atau kemoterapi," ujar Adam menatapnya khawatir.

Sial, Melody sungguh benci dengan tatapan khawatir. Adam sudah seperti kakak kandungnya saja, padahal ia hanyalah sepupunya yang berkerja kepadanya. Jika terus-terusan begini, bagaimana rencananya untuk mati? Padahal keluarganya telah mendukung penuh dirinya.

"Diamlah jika tak ingin kupecat," sahut gadis itu mengalihkan pandangannya menatap jendela. Adam menghela nafas sejenak, "Baik jika itu maumu." Kemudian pria itu mengajak Amber keluar dari ruang inapnya.

Sialan, ia harus membangun lagi niat untuk mati sekuat tenaga. Ia benar-benar berjanji pada diri sendiri tak akan menelan pil pahit itu sampai akhir hidupnya.

Juga, karena mereka berdua itu, membuat dirinya tampak mengenaskan sekarang. Ia paling benci ketika terlihat lemah. Apalagi selang infus yang tertancap ini, Melody semakin membencinya. Ia mencabut selang itu dengan kasar. Darah kemudian mengalir pelan menuruni sela-sela jarinya. Gadis itu tak peduli. Bahkan jika ini adalah jalan yang membuat dirinya cepat mati, mengapa tidak ia lakukan.

Kemudian dengan badan yang masih lemas, ia turun dari ranjang pasien kemudian gadis itu melangkah kearah balkon. Perlahan gadis berwajah pucat itu membuka pintu balkon kamar inapnya yang langsung menghadap ke taman rumah sakit. Ia melihat pemandangan taman itu dari lantai dua rumah sakit. Banyak para manusia pucat sama sepertinya. Tetapi mereka sangat bahagia. Segenap rasa iri muncul dihatinya. Bisa-bisanya mereka masih dapat tersenyum?

Atensinya mengarah ke gadis cilik yang memakai kukupan kepala itu. Senyumnya lebar sekali, sedikit iri rasanya. Kemudian disebelahnya ada sesosok lelaki parasnya sangat tampan, rahangnya tegas, hidungnya mancung, parasnya seperti diukir oleh dewa langsung, menatapnya terus-terusan membuat jantung Melody bergetar lebih cepat. Lelaki berjas dokter tersebut tampak ingin menggendong gadis kecil pucat itu.

Terlalu lama mengagumi paras lelaki itu, membuat ia tak sadar jika sedari tadi bocah perempuan tersebut menatapnya kemudian melambaikan tangan kearahnya. Melody menoleh kebelakang, ke kanan ke kiri dan menengok ke balkon lantai bawah, tak ada orang, hanya dirinya seorang disini. Ia mengangkat tangan kanannya dengan ragu kemudian menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. Lalu gadis cilik yang sudah berada dalam gendongan lelaki itu membalasnya dengan anggukan. Ia tersenyum canggung, karena lelaki berpakaian dokter itu juga ikut menatapnya. Lelaki itu menorehkan senyum kearahnya.

Sialan jantung Melody kan jadi berpacu lebih cepat.

Jika gadis berusia sembilan belas tahun itu boleh bilang, senyumnya manis sekali. Rasanya ingin melihat lelaki itu setiap hari.

Melody melebarkan senyumnya. Gadis itu terlihat lebih manis apabila tersenyum seperti ini. Kemudian ia mengangkat tangan kirinya lalu melambai-lambaikan tangannya. Namun entahlah, gadis cilik itu justru menangis. Malah meyembunyikan wajahnya kemudian memeluk erat lelaki itu.

Melody terheran, ada apa sebenarnya? Dokter muda itu terlihat panik, ia terlihat memanggil beberapa perawat yang berada di bawah. Kemudian mengembalikan gadis cilik itu ke orangtuanya yang sedang duduk di tepi taman. Lelaki itu berlari dengan sangat cepat menaiki tangga.

Dido's LamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang