Part 3

24 1 0
                                    

(*) No. 1 A minor waltz

***

"Maaf Tuan muda, Nyonya Avalee tidak memperbolehkan Anda keluar dari mansion ini," ucap Victor-- asisten pribadi ibundanya yang pagi ini tiba-tiba datang menemuinya. Pemuda bernama Cal itu hanya diam sembari menatap keluar jendela dengan kursi roda yang bersamanya.

Tatapan kosong dengan hati yang sunyi terus betengger di benak pemuda berusia 24 tahun itu. Kemudian atensinya beralih ke kedua kaki yang kini tak berdaya untuk berdiri sekalipun. Memori kelam masih berputar di otaknya. Kala itu, Cal sedang melakukan pertunjukan perdananya sebagai pemeran pendukung yang bukan hanya sebagai Backstage boy, ia sungguh berdialog. Ini adalah pertunjukan yang sangat ia nantikan sepanjang hidupnya yaitu opera klasik tentang kisah cinta tragis antara seorang putri kerajaan bersama budaknya yang akhirnya putri tersebut tewas terbunuh ditangan budaknya sendiri--His Regret for Princess of Ambroos.

Peran Cal disini sebagai seorang pemain pendukung yaitu seorang pangeran yang terkurung sepanjang hidupnya dan hanya bisa mematuhi arahan dari orangtuanya salah satunya untuk menikahi seorang putri dari Ambroos. Namun, pengantinnya hilang entah kemana dan nasib pangeran tersebut tidak jelas sampai akhir cerita.

Cal sangat ingin berperan menjadi pangeran dalam theater ini. Karena ia sudah menanti untuk berdialog. Awalnya ia bersyukur karena akhirnya ia menjadi pemain yang sedikit penting daripada menjadi hiasan panggung. Sayangnya Dewi Fortuna tidak selalu berpihak kepadanya. Lampu sorot yang seharusnya untuk menghiasi langit-langit panggung tiba-tiba jatuh dan menimpanya. Sangat menyedihkan jika diingat.

Cal menghela napasnya pelan. Ia mendorong sendiri kursi rodanya mendekat kearah pintu kamarnya. Kemudian ia tarik gagang pintu tersebut.

Kata pertama yang bisa mendiskripsikan bagaimana keadaan mansion mewah ini adalah sunyi.

"Tuan muda ingin kemana? Mau saya bantu?" Cal sangat mengenal suara itu. Itu suara asisten kepercayaannya, Reva.

"Reva, bantu aku untuk bertemu Melody."

Cal berpikir menemui adiknya saat ini adalah satu satunya hal yang dapat membantunya untuk bermain theater lagi, daripada harus meminta izin Ibu yang sebenarnya sangat malu jika Cal terjun ke dunia hiburan.

***

"Kau yakin ingin mengirimkan barang-barang ini ke dokter Kane?"

Sedangkan gadis yang sedang berbaring di atas ranjang itu hanya menghela napasnya pelan. Merasa bahwa sesuatu telah mengganggu indra pendengarannya. "Ya," jawabnya singkat.

"Tapi kenapa, bukankah--"

"Aku ingin dia menjadi kekasihku," potongnya.

"Apa?! Mengapa tiba-tiba?" Amber sangat terkejut mendengar pernyataan gadis bersurai sepinggang itu.

"Aku rasa dia menarik dan aku ingin bersamanya, lagipula sebentar lagi aku mati, kan?"

Amber hendak menjawab tapi ketukan pintu kamar pasien VIP ini membuat atensinya teralihkan. Terlihatlah seorang pria yang berstatus sebagai asisten juga sepupu dari gadis ini--Adam--sedang menutup pintu kamar kembali. Rupanya ia telah selesai membeli apa yang diinginkan Melody, yaitu satu bungkus Mochi berasa matcha.

"Mengapa lama sekali?" keluhnya. Adam hanya meringis pelan.

"Adam, tolong bantu aku untuk membawa barang-barang ini ke ruangan Dokter Kane," ujar Amber. Adam menarik kedua alisnya ke atas. Seakan sudah tahu, Amber pun menjelaskannya. Adam tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Ia sungguh bingung tapi ia tetap menuruti apa yang diperintahkan majikannya itu.

Satu alasan mengapa Melody sangat ingin memiliki dokter muda itu karena dirinya sangat terkesan dengan apa yang terjadi setelah insiden lift beberapa hari yang lalu. Entah mengapa dokter itu jadi lebih perhatian dengannya dan tentu gadis itu merasakan sesuatu yang tak pernah ia alami sebelumnya.

***

"Jadi, kau ingin aku membantumu untuk mewujudkan ambisi mu itu?" gadis berwajah pucat itu memijat pelipisnya pelan.

"Iya dan kuharap kali ini kau membantuku. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tahu, aku adalah pria cacat yang mungkin terlihat menjijikan yang mengemis di hadapan mu. Tapi aku sungguh tak tahu harus bagaimana lagi."

Gadis itu terkekeh pelan. Ia tidak tahu mengapa kakaknya yang terlihat begitu bodoh saat mengemis ini terasa begitu menyenangkan. "Apa ibumu tidak mendukungmu?"

Cal mengeratkan rahangnya, "Kau sudah tahu jawabannya, Melody."

"Tapi... Ah, sayang sekali Kakak. Entah mengapa aku justru sedang berpikir bahwa ibumu itu ada benarnya. Bagaimana jika lebih baik kau melanjutkan bisnis pria bajingan itu saja, Kau hanya tinggal menikmati kekayaannya dan hidup bahagia, mudah kan? Kau juga tak perlu menjadi lumpuh seperti itu."

Cal tidak suka melihat orang lain merendahkannya, termasuk adiknya sendiri ini. "Jaga perkataanmu, Melody!" ia mengetatkan rahangnya.

Gadis itu tertawa pelan. "Baiklah Kakak," ia menghela napasnya sejenak, "begini saja, jika aku dapat melakukannya, apa yang akan aku dapatkan?"

"Apapun yang kau inginkan."

Melody tak kuasa menahan gelak tawanya. Pernyataan kakaknya itu jelas sangat konyol. "Hah! Rasanya seperti dongeng saat mendengarnya."

Cal terdiam.

"Apa yang bisa dilakukan oleh burung dalam sangkar sepertimu, Kakak? Tidakkah kamu ingat apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu?"

"Hanya aku yang berjuang sendirian kala itu." Ekspresi wajah gadis itu mendingin.

"Ya sudah, aku tetap akan menerima tawaran ini. Tapi, berikan aku grand piano asli yang dimiliki oleh composer Liszt saat sedang merumuskan Hungarian Rhapsody, bisakah kamu?"

Cal melihat ekspresi adiknya yang begitu meremehkannya. "Ya, sesuai permintaan mu."

***

Hi! Akhirnya aku update setelah sekian lama nge-stuck.


Jujur, kali ini memang lebih sedikit kata yang aku gunakan, hanya kurang dari 1000 kata.

Tapi aku berharap kalian masih suka dengan cerita cerita ku ya

Terima kasih telah membaca

zaneswa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dido's LamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang