25 | Sebotol Susu Segar: Janji

328 63 29
                                    

Mira merentangkan kedua tangan dan menghirup dalam-dalam udara segar Batu sambil memejamkan mata. Aku tersenyum menatap sahabatku itu. Dia terlihat senang sekali, pada akhirnya bisa pergi berlibur bersamaku, Galih dan Dimas, tanpa mengajak si Kembar. Masih kuingat rengekannya seminggu lalu, yang mengatakan ingin sekali double date denganku di Batu.

Sebenarnya hari ini, tepatnya hari Sabtu, aku diminta Tante Natasha ke rumahnya untuk belajar membuat beberapa kue-kue kering. Aku tahu, pasti beliau ingin memiliki lebih banyak waktu denganku. Selain karena hal tersebut, kemungkinan juga karena beliau merasa kesepian setelah setelah Papa tiada dan Kevin juga belum bisa pulang ke Indonesia.

Terpaksa aku menolak permintaan ibu tiriku itu dengan halus, karena tak enak pada Mira yang lebih dulu memintaku mengosongkan jadwal. Lagi pula, aku sekalian ingin melihat bagaimana kondisi kebun apel milik Papa, sebelum resmi benar-benar dialihnamakan kepadaku.

Kebetulan kebun apel yang tak begitu luas ini berada di dekat salah satu tempat wisata terkenal di Batu. Namun, berbeda dengan beberapa kebun buah di kota ini, kebun milik Papa tak dibuka untuk umum. Hanya sebagai tempat bercocok tanam yang hasilnya kemudian dijual atau dikonsumsi pribadi.

Aku memiliki rencana ke depan, setelah resmi kebun ini atas nama diriku, tanah kosong yang ada di sudut belakang akan kucoba tanami beberapa sayuran, seperti kubis, wortel, atau tomat. Jadi, tanah ini tak hanya fokus untuk budidaya apel saja, tetapi juga sayuran, meski hanya sedikit.

Sebenarnya Tante Natasha menyarankan bagaimana jika kebun ini dibuka untuk pengunjung umum. Namun, aku menolaknya dengan alasan risiko tambahan biaya yang bisa jadi akan banyak dikeluarkan untuk perawatan lebih, pengadaan tambahan karyawan mengingat membuka untuk umum berarti siap memberikan fasilitas lebih pada tamu, juga hal-hal lain yang saat ini aku belum mampu fokus untuk memikirkannya.

Setelah Yasmin keguguran, keluarga Dimas meminta maaf, karena rencana lamaran kami harus ditunda sampai selesai urusan perceraian Yasmin. Apalagi Mbah Uti juga jatuh sakit setelah mendengar kondisi Yasmin yang memprihatinkan itu.

Aku, Mama dan Tante Natasha sangat maklum dengan keputusan tersebut. Bulik terlihat sangat menyesal, berkali-kali meminta maaf padaku dan Mama. Namun, pada akhirnya kami berdua berhasil meyakinkan Bulik kalau hal itu tak masalah bagi kami dan justru baiknya memang fokus ke perceraian Yasmin dahulu, sebelum Haris makin membuat masalah.

Selama proses perceraian, Haris sempat melakukan teror dan berusaha ingin bertemu Yasmin yang sengaja tinggal dengan Bulik di rumah kontrakan baru di daerah dekat Terminal Landungsari. Meski agak jauh dari kota, alasan Bulik mencari kontrakan rumah di sana memang untuk membuat Yasmin jauh dari Haris.

Yasmin sendiri kabarnya masih menyimpan perasaan pada Haris. Namun, kehilangan bayi yang dia kandung dan mengingat betapa kasarnya perlakuan Haris selama ini, membuat Yasmin trauma dan takut bertemu mantan suamiku itu. Yasmin juga tak mau bertemu denganku. Kata Bulik, Yasmin merasa malu dan sangat bersalah, hingga membuatnya tak berani untuk bertatap muka denganku.

Entahlah. Semua terjadi begitu cepat. Tak hanya seperti baru kemarin aku bertemu lagi dengan Dimas setelah 3 tahun berlalu dan kemudian dekat dengannya seperti sekarang, juga bagaimana aku yang dulu seakan sudah putus asa untuk tak ingin menikah lagi, ternyata tiba-tiba bisa menjadi begitu semangat ingin segera membangun rumah tangga bersamanya.

"Far." Suara Mira yang tiba-tiba terdengar dari samping, membuatku kaget dan langsung menatapnya. Kami tengah duduk berdua di bangku pojok utara kebun. Sementara itu, Dimas dan Galih masih asyik bersama manajer kebun, Pak Surya, mengobrol dan melihat beberapa pohon yang siap berbuah.

"Aku sama Mas Galih lega banget kamu akhirnya bisa sampai tahapan ini." Mira lalu tersenyum. Aku tertawa kecil, tahu ke mana arah bicaranya.

"Enggak nyangka aja, masih ada cowok baik kaya Mas Galih dan juga si Dimas itu. Usia emang enggak menjamin kedewasaan seseorang, ya?"

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang