Alves tersenyum sekilas saat melihat Ola sudah baik-baik saja. Gadis itu meminum susu kotak rasa melon yang telah menjadi kesukaannya sejak bertahun-tahun lalu. Syukurlah, setidaknya untuk saat ini, perempuan itu tidak menangisi kepergian sahabat kecilnya berlarut-larut.
"Kok diem?" tanya Ziola sembari menoleh. Padahal, telinganya sudah siap untuk kembali mendengarkan cerita Alves.
"Bentar, La. Kang ceritanya aus."
Ziola terkikik geli saat Alves menyender lelah di kursinya.
Gadis itu kemudian berinisiatif mengambil minuman di jok belakang. "Minum," ucapnya seraya mengasongkan kaleng soda.
Alves sedikit tidak percaya saat melihat minuman itu, tapi selanjutnya ia tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.
"La, bentar."
"Kenapa?"
"Selama gue ga ada di deket lo, ga ada sesuatu yang terjadi?"
Ola menggeleng. "Berjalan kayak biasanya, sama kayak yang Ola ceritain kemaren-kemaren aja. Gak kayak Alves yang banyak boongnya," sindir perempuan itu.
Alves langsung diam. Kemudian menyiapkan keberanian untuk kembali membuka suara.
"Ola marah?"
"Ngga. Buat apa marah."
"Maaf ya, La?"
"Hm?"
"Gapapa, cuma ... gue lagi banyak takut."
"Takut?"
"Alves takut apa?" tanya Ziola khawatir. Sayangnya, Alves segera menggeleng.
"Lanjut cerita aja deh."
"Apa dulu, Al?" Ola kelewat penasaran.
"Ngga ada apa-apa, La."
"Ish ...."
"Kasih taunya nanti, boleh?" pinta Alves dan jika begini Ziola sudah tidak bisa lagi memaksa laki-laki itu. Ola mengangguk kecil.
Tanpa isyarat sama sekali, Alves tiba-tiba saja menautkan kelingkingnya dengan milik Ola, lalu kembali menyender-mencari posisi nyamannya untuk meneruskan cerita sebelumnya.
"Abis gue sampe katedral ..."
***
Alves melangkah memasuki area berasitektur gotik. Di sana, terdapat kaca patri yang berada tepat selurus dengan titik yang cowok itu pijaki.
Bangku-bangku panjang berbahan kayu berjejer rapi dan penerangan di dalam cukup membuat kesan yang hangat.
Alves duduk di salah satu bangku, lalu mulai memejamkan mata. Hatinya mulai melontarkan segala puji dan meminta petunjuk tentang apa yang akhir-akhir ini ia cari.
Jika Arthur memilih Manajemen untuk membantu sang ayah di kemudian hari karena melihat tampang Alves yang terlalu 'IPA'. Apa Alves benar-benar harus memilih jurusan di antara rumpun SAINTEK? Atau ... tidak sama sekali.
Sebab ada satu keinginan yang sebenarnya ingin Alves wujudkan. Hanya saja, apa tanggapan orang terdekatnya jika tahu tentang itu?
Samar-samar, suara pesawat di luar membuat Alves sedikit membuka kelopak matanya.
Haruskah?
***
Tangan Ziola sedikit tersentak, membuat Alves seketika saja menghentikan ceritanya dan menatap gadis itu.
"Alves mau jadi pilot?"
Dan saat itu juga Alves menggeleng. Ia diam, tapi dalam hatinya bertanya mengapa Ola terlihat terkejut? Jujur, ini yang Alves takutkan. Kisah yang diceritakannya bahkan belum sampai akhir, Alves takut Ziola semakin kaget ke depannya dan malah terjadi sesuatu. Alves tidak tahu usai ia bercerita, apakah dukungan yang akan ia dapat, atau cegahan untuk tidak lanjut melangkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alves
Teen FictionAlves tak menginginkan pangkat maupun harta. Ia hanya ingin memiliki sebuah cita, sebuah tuju yang pasti dimiliki oleh tiap-tiap insan bernyawa. Lelaki itu hanya sedang berusaha memaknai hidup, dan berpikir untuk apa ia dicipta. Lalu tanpa aba, lang...