3. Apartemen Dokja

697 121 15
                                    

"Aku tidak menggemaskan. Berhenti mengucapkan dusta, Jinwoo-ssi," ucap Dokja sembari menepis tangan Jinwoo dari pipinya.

Jinwoo terkekeh kecil. "Panggil aku Jinwoo-ya. Ssi itu terlalu formal," saran.Jinwoo.

Dokja menggeleng. "Jinwoo-ssi murahan sekali ya. Umurku ini dua puluh delapan, berapa umurmu? Kau tampak lebih muda dariku," ucapnya mabuk.

"Aku dua puluh tiga tahun. Berarti aku boleh memanggilmu Hyung?" tanya Jinwoo yang dibalas anggukan antusias Dokja.

Kini Dokja terlihat seperti anak kecil yang girang diberi permen, ia lagi-lagi menenggak segelas soju dan makan makanan yang telah dipesan dengan lahap. "Ya, panggil aku Hyung. Aku ini lebih tua darimu, bersikaplah sopan kepada hyungmu ini Jinwoo-ya," racaunya sembari mengunyah makanan.

Jinwoo tersenyum menahan rasa gemas dalam diri yang bergejolak. Ingin rasanya ia menculik Dokja dan membawanya ke apartemen lalu menguncinya di kamar tamu agar dia menjadi miliknya seorang namun dia sadar diri. Itu tindakan tak wajar bahkan untuk seseorang yang dilanda rasa cinta. Jinwoo sadar betul rasa dan hasrat yang ia miliki terlalu berlebihan dan berbahaya namun sekali lagi, dia pintar mengontrol diri sehingga ya dia bisa bersikap normal tanpa suatu kejanggalan.

"Hyung membaca apa di kereta sehingga sering tersenyum sendiri?" Jinwoo bertanya.

Dokja mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya kemudian memencet platform novel terkenal yang sering ia gunakan. "Ini, aku membacanya setiap saat karena ini seru sekali. Jinwoo-ya juga bisa membacanya kok," igaunya dalam keadaan mabuk berat.

Jinwoo tersenyum sembari menyangga kepala kemudian dia mengarahkan tangan kanan ke pipi kiri Dokja lantas mencubitnya pelan. "Dokja Hyung benar-benar menggemaskan ya," ujarnya.

"Aku menggemaskan? Dari mananya? Aku ini hanya seorang pria muda yang tak kunjung mendapat kekasih dan terus-terusan hanya berfokus membaca novel asal kau tahu," jelas Dokja. Ia tak menepis tangan dan tak masalah dengan apa yang Jinwoo lakukan terhadapnya.

Jinwoo menarik tangannya kemudian makan makanan yang ada di hadapannya dengan perlahan sembari memaku kedua tatapannya kepada Dokja. Saat mabuk pun Dokja masih dan justru bertambah menggemaskan di mata Jinwoo. Tidak akan ada yang salah bahkan jika Dokja memukul Jinwoo, ia sendiri tak masalah karena ia tahu Dokja lebih lemah ketimbang dirinya.

Dalam otak berpikir apakah Dokja pernah dilecehkan oleh atasan maupun rekan kantornya lantaran tubuh Dokja yang tergolong ramping dan menggoda untuk ukuran pria. Jinwoo menggelengkan kepalanya, ia tak mau berpikir sesuatu yang nantinya akan membuat batin diselimuti emosi yang berkecokol. Cukup saat ini ia senang karena Dokja di hadapannya dalam keadaan mabuk pula.

"Jinwoo-ya tampan untuk ukuran pria. Terus apakah kau sudah mempunyai kekasih?" Dokja mengajukan pertanyaan.

Jinwoo menggelengkan kepala sambil menggoyangkan gelas berisi soju. "Belum, mungkin tak akan lama lagi. Kenapa memangnya?" Jinwoo balik melontar tanya.

Dokja menunduk lesu. "Enaknya menjadi pria tampan. Aku iri. Aku juga ingin menjadi pria tampan yang disukai banyak wanita," curhatnya.

"Calon kekasihku bukan wanita," sahut Jinwoo.

"Jinwoo-ya gay? Siapa calon kekasihmu? Beritahu aku, akan aku bantu kau bersamanya," balas Dokja kembali bersemangat.

Jinwoo menyeringai. "Ada di hadapanku," jawabnya santai.

Dokja menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Tidak mungkin. Kenapa aku harus bersanding dengan lekaki setampanmu. Carilah lelaki yang lebih cantik selain aku dan lebih sesuai dengan kriteria idamanmu Jinwoo-ya. Lagi pula aku bukan gay, dan aku tidak tertarik dengan pria," final Dokja.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang