5. Ajakan Kencan

613 95 10
                                    

Jinwoo pulang dalam kondisi kacau di mana ia bau alkohol. Bekum lagi dirinya yang dilanda pusing dan sudah sepenuhnya mabuk karena kelebihan konsumsi bir dan soju. Kacau sudah tubuhnya, ia lelah namun masih harus menjalani pekerjaan sebagai detektif.

"Kim Dokja," gumam Jinwoo dalam ketenangan dan kesunyian yang sang malam sajikan bersama remangan cahaya rembulan. Ia mengisap rokok di balkon, berusaha mengenyahkan bayang-bayang seorang Kim Dokja dalam benak dan pikiran yang berulang kali diputar. Ia benci dirinya yang tak bisa dikendalikan dengan baik, bahkan sekarang otaknya melawan keinginan di mana peringatan agar tidak memutar wajah sang pujaan hati.

Memang bukan sebuah hal dosa memikirkan terus-menerus satu orang dalam waktu yang lama, namun agaknya hal itu melelahkan atau bahkan menyenangkan bagi sebagian orang. Jinwoo masuk dalam kategori orang yanig lelah karena terus memikirkan satu orang yang sama dalam jangka waktu yang cukup lama, sudha sejak kemarin sekiranya.

Paru-paru dipenuhi dengan asap penuh racun kemudian dihembuskan perlahan hingga terbawa terpaan angin yang membuat surai mengikuti arahannya. Ia tak peduli bahwa fakta di mana ia menyentuh barang berisi racun untuk dihisap, ia hanya bermaksud menenangkan pikiran dan mengendalikan diri. Ia tak bisa lagi mengandalkan alkohol karena justru alkohollah yang membuat dirinya sendiri terbayang bahkan sampai terasa nyata bahwa sosok pujaan hati ada di hadapan.

Jinwoo merokok dengan tujuan yang lumayan sepele. Ini bukan kali pertama seorang Sung Jinwoo merokok, ia merokok pertama kalinya saat sekolah menengah atas yang mana karena ajakan dari temannya, kemudian ia akan merokok setiap kali tengah dilanda depresi atau stress berat seperti saat ujian masuk jenjang perkuliahan. Tentu saja sang ayah tahu hal ini, namun ibu dan adiknya tidak dan lagi pula Jinwoo sendiri sangat jarang membeli rokok dan lebih memilih untuk meminum bir.

Jinwoo menggeram sejenak berusaha menuntaskan kekesalan yang terpendam. "Kenapa selalu wajah polos itu yang aku ingat sepanjang waktu," keluhnya kemudian menekan batang rokok yang masih belum berada di garis batas. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan menyumbat aliran air di wastafel guna mengumpulkan air lalu mengusap wajah lesunya dengan air dingin.
.
.
.
Sedangkan di kediaman Dokja, lelaki kelahiran lima belas Februari itu kini tengah membereskan rumahnya yang mulai berdebu. Ia membersihkan apartemen yang dihuni sejak pagi hingga kini malam menyapa. Kedua sudut bibir tak mengukir senyum maupun melengkung ke bawah, hanya datar saja tanpa emosi di wajahnya. Meski begitu, baik otak dan hatinya menyajikan wajah Sung Jinwoo yang tengah tersenyum kecil di mana ia terlihat begitu tampan nan menawan. Kedua belah bibir merah muda itu berucap. "Sung Jinwoo."

"Sung Jinwoo, Sung Jinwoo, Sung Jinwoo," beo Dokja di tengah keberisikan tetangganya yang memperdebatkan hubungan mereka. Ia tak begitu peduli sebenarnya, namun berhubung kedua insan beda jenis kelamin itu menyuarkan suara hati mereka dengan keras dsn blak-blakan ia jadi diam-diam mendengarkannya. Mau tahu apa yang terjadi antara keduanya? Hanya hubungan biasa yang dibumbui oleh perselingkuhan oleh sang lelaki yang katanya telah bosan bersama sang pasangan. Dokja bersyukur karena dia tak mempunyai kekasih, sehingga tidak harus membatasi diri dari pergaulan maupun lingkungan kerja dan sosial.

Padahal sesungguhnya Kim Dokja sendiri membatasi diri dari lingkungan sosial di sekitarnya dengan membuat dinding tak kasat mata yang tidak bisa ditembus oleh orang baik yang dikenalnya maupun orang asing. Namun dinding itu entah kenapa dia rasa kini tak berguna lagi semenjak dia yang mulai mendekati dan menanyai seorang Sung Jinwoo tentang mengapa Jinwoo menatapinya di kereta. Setudaknya mereka baru bertemu dua kali dengan  interaksi yang menurutnya tak jelas dan tanpa kepastian.

Meski baru dua kali menjalani interaksi, entah mengapa dalam otaknya terputar terus-menerus adegan Jinwoo yang menggendong dan memperlakukannya dengan sopan serta lembut, ia tak pernah sekalipun bermaksud menyakiti Dokja. Bahkan kedua netra sipit nan tajam itu menatapnya dengan sorot yang lembut dan penuh afeksi. Jujur saja itu aneh bagi Dokja.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang