Pencuri Atensi

23 4 0
                                    

Ah, aku mimpi buruk lagi.

Rasanya selalu aneh tiap kali aku bangun dan melihat Anna ada di sebelahku, mendorong sebuah meja beroda yang penuh akan obat-obatan. Bersama dokter wanita berjas putih dengan kacamata minusnya–Amma, Anna akan menyalurkan sebuah kapsul seukuran ujung kelingking untuk kuminum setiap paginya.

Anna, dia bukan manusia–walau perawakannya berkata sebaliknya. Gadis usia sepuluh tahun yang kini tengah menatapku tanpa ekspresi itu hanyalah sebuah robot manusia tanpa perasaan. Dia hanya akan menuruti apa kata Amma, seakan-akan Amma memang memogramnya begitu. Namun, ada yang aneh. Mimpiku ... justru mengatakan sebaliknya.

Setiap melihat Anna yang berjalan membuntuti Amma setiap saat, aku selalu reflek teringat pada mimpi yang terus terulang setiap malam itu. Di gelapnya malam, ketika semua anak tengah tertidur, begitu pun aku–seharusnya. Aku nekat keluar kamar karena mendengar suara kebisingan dari arah ruangan Amma. Aku penasaran, apa Amma baik-baik saja?

"Meera?" Ah, aku melihat dari celah di pintu, Amma berkali-kali memanggili robot 'mati'-nya itu. Terdengar kesal ... mungkin karena tak direspon? Bagaimana pun juga, Anna hanyalah seonggok robot tanpa emosi yang tak bisa merasakan apa pun. Dia hanya akan menanggapi sesuai perintah pemrogramannya. Namun, kenapa dia memanggilnya Meera?

"Meera. Namamu adalah Ameera Floxia Queenfy." Amma berkata sekali lagi.

"Nama saya adalah Anna–"

"Tidak-tidak. Namamu adalah Meera. M-E-E-R-A. Oke?"

"Maaf, perintah tersebut tidak tersedia di dalam pemrograman."

"Tidak. Ini bukan bahasa pemrograman, Meera. Ini adalah ingatan. Ingatanmu selama hidup, Meera. Oke, kau boleh melupakanku. Tapi, tolong ... setidaknya jangan melupakan namamu sendiri."

Tidak salah lagi, itu suara Amma. Suara isakan kian jelas ketika Amma memeluk robot yang memandangnya dengan tatapan kosong itu. Aku tidak mengerti, memangnya apa yang harus kumengerti? Semua tampak blur sampai tiba-tiba suara jeritan penuh rasa sakit dari Amma itu membangunkanku dari tidur.

Lupakan itu sejenak. Sepertinya, hari ini aku harus melalui detik-detik menyedihkan, sekali lagi.

"Jangan dekat-dekat Emma! Nanti kalian ketularan!"

Ungkapan seperti inilah yang selalu kuterima sejak pertama kali membuka mata. Setiap harinya aku hanya dapat berjongkok di balik pintu kamar sambil memainkan boneka beruang, sendirian. Tidak ada yang mau berteman denganku karena aku dianggap 'anak yang sakit' dan tak bisa disembuhkan.

Cypto, penyakit yang kabarnya sekarang menyerang anak di seluruh dunia. Itulah alasan kenapa sekarang aku ada di sini, bersama pasien anak-anak lain, membawa penyakit tak diinginkan ini. Hanya saja, yang mengesalkan adalah kenapa aku harus menjadi satu-satunya yang tak bisa disembuhkan?

Blueh-Osp, nama rumah sakit tempatku tinggal saat ini. Aku tidak ingat kapan dan bagaimana aku bisa ada di sini. Hanya saja, ketika bangun, aku dikelilingi oleh anak seusiaku yang berkulit biru langit. Mereka saling berbisik ketika melihatku terbangun di atas bangsal rumah sakit, sorot mata tajam tertuju pada tubuhku yang berwarna berbeda dari mereka–sawo langsat.

Namun, Amma dengan pembawaan keibuannya tiba-tiba muncul dari kerumunan bersama Anna yang mengenakan baju perawat sambil mendorong meja penuh obat-obatan. "Warna tubuhmu tidak biru, Emma. Minum obat ini dan kembalilah beristirahat. Kau akan sembuh selama kau yakin."

Aneh, karena di sini warna kulit biru dianggap sebagai kenormalan, sedangkan kulitku … lupakan itu sejenak, pertama kali bertemu dengan Amma, bisa kupastikan itulah senyum pertama yang kudapatkan sejak pertama kali membuka mata. Amma, satu-satunya orang yang yakin akan kesembuhanku di saat anak lain mengatakan aku akan mati karena penyakit ini.

Tolong, Jangan Peluk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang